Senin, 09 Mei 2011

marsudiono: bias gender

BIAS GENDER DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
DI BUSTANUL ATHFAL AISYIYAH KECAMATAN JETIS, PONOROGO (KAJIAN KONSTRUKSIONISTIK)

Oleh :
Marsudiono

Abstrak: Pendidikan anak usia dini sangat berpengaruh pada perkembangan anak di masa mendatang. Bias gender bisa terjadi di lembaga pendidikan formal, terutama pada pendidikan anak usia dini. Penelitian ini dilakukan di Bustanul Athfal (BA) Aisyiyah Jetis, Kutukulon, dan Wonoketro dengan pendekatan kualitatif konstuksionistik. Dari hasil observasi dapat diperoleh data bahwa terdapat tiga bias gender dalam pelaksanaan upacara bendera yang berbentuk marginalisasi perempuan, dominasi laki-laki yang mengakibatkan perempuan termarginalisasi dan stereotype bahwa kerapian itu milik perempuan. Selain itu juga ada sexisme pada perlengkapan belajar. Tas laki-laki bergambar super hero dengan warna kuat merupakan sumber inspirasi untuk kelak menjadi orang yang powerful. Sebaliknya, tas perempuan bergambar feminine dengan warna lembut. Bias gender juga terjadi ketika para siswa mengerjakan soal, guru meminta anak laki-laki ke depan lebih dulu. Priorotas ini merupakan ‘previlage’bagi laki-laki yang akhirnya akan mendominasi kehidupan di masyarakat.

Kata Kunci: Bias gender, Pendidikan Anak Usia Dini

PENDAHULUAN
Pendidikan anak usia dini memegang peranan penting dalam dalam perkembangan kepribadian anak. Pendidikan di masa ini sangat berpengaruh terhadap diri anak di masa mendatang. Kesalahan dalam pendidikan anak di masa kini akan terus berpengaruh terhadap proses pertumbuhan jiwa dan psikologi anak. Sebaliknya pendidikan yang tepat dan benar akan mengarahkan anak pada proses pencapaian kesempurnaan perkembangan anak.
Dewasa ini masalah gender menjadi isu stategis dalam berbagai kajian wanita terutama dalam perspective feminisme. Di masyarakat ada pemahaman dan asumsi yang kurang tepat tentang gender. Kondisi seperti ini tak jarang juga terjadi di lembaga pendidikan formal, terutama pada pendidikan anak usia dini dimana mereka justru saatnya mendapat konsep yang benar tentang gender. Suatu contoh ketika di sekolah ada anak perempuan menangis, guru cenderung menganggap hal itu merupakan peristiwa biasa dan memakluminya. Tapi bila ada anak laki-laki menangis, guru cenderung berusaha menguatkan jiwa anak dengan berkata ‘Jangan cengeng, laki-laki kok menangis’.
Dikotomi laki-laki dan perempuan melahirkan konstruksi sosial. Konstruksi sosial di masyarakat Jawa yang patriarki cenderung di dominasi oleh laki- laki. Pemahaman masyarakat terhadap konsep gender masih sering bias dengan istilah sex. Padahal ada perbedaan konsep antara gender dan sex. Gender adalah konstruksi sosial sedangkan sex sudah merupakan kodrat yang tak dapat saling ditukar perannya.
Dalam perkembangannya menuju dewasa, anak harus mendapat perlakuan yang ‘equal’ antara laki-laki dan perempuan. Henever (1983:23) menyatakan , ” equality between women and men means equality in their dignity and worth as human beings as well as equality in their rights, opportunities and responsibilities.” Ini berarti bahwa anak laki-laki dan perempuan harus mendapat hak, kesempatan dan tanggungjawab yang sama dalam proses pembelajaran.
Lebih tegas Freeman (1984:536) menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan tercipta sejajar dan mereka diberikan oleh Tuhan hak yang sejajar yaitu hak untuk hidup, kemerdekaan, dan mencapai kebahagiaan. Hal yang sama disampaikan oleh Wollstonecraft (1929:44) bahwa tidak hanya sifat tapi juga pengetahuan laki-laki dan perempuan hakekatnya sama.
Simone de Beauvoir di dalam Kourany (1994) menegaskan bahwa setidaknya ada tiga sebab wanita menjadi inferior. Pertama, perempuan tak pernah punya kesempatan menunjukkkan kemampuannya yang sesungguhnya. Kedua, perempuan kurang berambisi. Ketiga, perempuan beranggapan bahwa dirinya sebagai makhluk lemah (relative being). Perempuan merasa dilindungi pertama oleh orang tuanya, lalu oleh suaminya dan seterusnya oleh masyarakat. Pewrempuan tak dilatih mandiri dan self - supporting.
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”. Di masyarakat, pengertian Gender dan Sex seringkali masih bermakna bias. Menurut Abrams (1985) sex ditentukan oleh anatomy. Ini berarti bahwa sex adalah konsep biologis. Ia terbentuk secara alamiah dan tak dapat dirubah. Sebaliknya konsep gender merupakan konstruksi budaya yang dipengaruhi oleh peradaban manusia. Sebagai contoh, orang percaya bahwa laki-laki itu kuat dan rasional sementara wanita itu lembut dan emosional. Karakter ini menurut Fakih (1997) saling dapat dipertukarkan. Artinya laki-laki bisa jadi emosionaldan perempuan bisa jadi rasional.
Virginia Woolf di dalam Selden (1993) menyatakan bahwa gender merupakan konstruksi sosial dan dapat di tentang dan diubah. Dengan kata lain, genderadalah ‘stereotype’ yang diberikan oleh masyarakat tentang laki-laki dan perempuan. Orang-orang di masyarakatlah yang mengkonstruksi keyakinan bahwa gosip adalah sifat wanita. Keyakinan ini melahirkan ‘moral code’. Ini terbentuk oleh pandangan umum masyarakat yang melekat pada laki-laki dan perempuan. Akhirnya Sampailah pada keyakinan bahwa peran pewrempuan hanya di urusan domestik, seperti memasak di dapur, merawat anak, dan melayani suami.
Menurut Gonibala (2007) fakta menunjukkan bahwa ketimpangan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan masih sering terjadi. Ketimpangan gender merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan secara integratif holistik dengan menganalisis berbagai faktor dan indikator penyebab yang ikut aktif melestarikannya, termasuk faktor hukum dan pendidikan yang kerapkali mendapat justifikasi agama. Kesenjangan pada bidang pendidikan telah menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia, hampir semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum setara selain masalah-masalah klasik yang cenderung menjustifikasi ketidakadilan gender seperti interpretasi teks-teks keagamaan yang tekstual dan kendala sosial budaya lainnya.
Catherine Mackinon in Humm (1989) menyatakan bahwa gender dibangun berdasarkan ideology yang menempel pada konsep alam. Ini berarti gender sebagai konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat. Oleh karena itulah gender bisa ditentang dan dirubah. Gender adalah masalah konsep yang terkait dengan kultur, dan budaya merupakan sesuatu yang dinamis.Ia akan berubah seiring dengan perkembangan jaman. Apa yang dianggap tidak baik di jaman dahulu sekarang telah menjadi hal biasa. Misalnya perempuan memakai celana dan bukannya rok merupakan hal yang tabu di jaman dahulu tapi sekarang jadi hal biasa.
Lebih jauh, Lorber di dalam Lindsey (1994) berargumentasi bahwa gender adalah konstruksi sosial dan hubungan antara laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah hubungan sosial. Apa yang dikonstruksi oleh masyarakat dapat direkonstruksi dan hubungan sosial dapat diatur lagi.
Tuhan telah membuat segalanya benar, dan kesalahan telah diciptakan oleh makhluknya. Tidak ada bukti bahwa Tuhanlah yang menciptakan ide bahwa pekerjaan sekretaris berafiliasi dengan perempuan dan sopir adalah pekerjaan laki-laki. Konsep kepantasan adalah pandangan yang di konstruksi oleh masyarakat. Karakteristik ini jelas dibuat oleh manusia. Apa yang dibuat oleh manusia pasti tidak abadi dan pasti punya akhir. Tujuan feminisme adalah mengakhiri ketidakadilan gender ini.
Konsep tentang laki-laki dan perempuan sering kali diterima begitu saja oleh masyarakat dan jarang ada yang mempertanyakannya. Oleh karena itu akhirnya bias gender juga masuk ke berbagai bidang. Hal ini akhirnya melahir kan ketidakadilan gender (gender injustice).
Bias gender merupakan akibat dari perbedaan kode etik moral di masyarakat yang berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Akibatnya masyarakat seringkali memberlakukan standar ganda pada perilaku laki-laki dan perempuan. Suatu misal ketika laki-laki merokok itu dianggap hal biasa tapi aktifitas merokok itu menjadi berkonotasi negatif atau bahkan tabu bila pelakunya adalah perempuan. Perempuan yang merokok kemudian mendapat lebel sebagai perempuan nakal. Ini jelas merupakan bukti bahwa satu tindakan yang sama tapi ketika dilakukan oleh laki-laki dan perempuan akan muncul standar ganda dalam menilai tindakan itu. Dengan demikian peran perempuan akan semakin termarginalisasi dalam masyarakat. Baik buruk tentang tindakan laki-laki dan perempuan diciptakan oleh masyarakat dan di konstruksi oleh hukum laki-laki yang sangat patriarkhi.
Lorber di dalam Lindsey (1994) berpendapat bahwa gender adalah konstruksi sosial dan hubungan laki-laki dan perempuan pada intinya adalah hubungan sosial. Apa yang dikonstruksi oleh sosial dapat direkonstruksi dan hubungan sosial dapat di atur lagi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bias gender merupakan ketidak adilan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan sebagai akibat dari asumsi masyarakat yang telah menjadi konstruksi sosial.
Banyak orang tua dan bahkan para pendidik kurang memahami permasalahan gender terhadap perkembangan anak. Di masyarakat ada ‘double standar’ dalam pendidikan yang menyebabkan anak perempuan kurang bisa bereksplorasi. Padahal, anak laki-laki dan perempuan punya kebutuhan yang sama yakni bereksplorasi, beraktifitas dan berekspresi (Dayati, 2006).
Seringkali orang tua membiarkan anak laki-lakinya pergi bermain dengan teman-teman tapi anak perempuan cenderung ‘didomestikkan’. Hal ini diperparah dengan adanya moral code atau etika di masyarakat yang yang masih bias gender, yang dengan tidak adil menjastifikasi tindakan salah laki-laki dan perempuan. Misalnya anak laki-laki berteriak-teriak dan memanjat bangku atau meja di kelas di anggap biasa sedangkan bila itu dilakukan oleh perempuan maka anak itu segera mendapat lebel anak hiperaktif, tak tau etika, dan kurang pendidikan. Akhirnya anak perempuan cenderung lebih pasif, kurang agresif, dan hanya duduk manis di kelas. Hal inilah yang kelak bila dewasa menjadikan perempuan menjadi ‘termarginalisasi’ dan ‘ tertrivialisasi’.
Pendidikan formal di sekolah sebagai lembaga pendidikan seharusnya menanamkan pola pikir keadilan gender (gender equality). Dengan demikian sistem pendidikan dan budaya pendidikan yang bias gender sudah barang tentu harus dihapuskan.
Bustanul Athfal (BA) Aisyiyah adalah sebuah lembaga pendidikan anak usia dini yang dikelola oleh organisasi Aisyiyah. Di Kecamatan Jetis ada 14 BA Aisyiyah yang tersebar di 14 desa, yakni BA Aisyiyah Jetis, Kutukulon, Kutuwetan, Wonoketro, Josari, Jintap, Tempel, Turi, Winong, Pandanderek, Tegalsari, Karanglo, Manding dan Mojorejo.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap berbagai jenis dan bentuk bias gender yang terdapat dalam pendidikan anak usia dini di bustanul Athfal Aisyiah kecamatan Jetis, Ponorogo.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruksionistik. Menurut Fatchan (2006:5) penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan kontruksionistik sebenarnya bersumber atas dasar kajian ilmu historik. Kajian ini bertujuan untuk memahakmi makna yang dikonstruksi oleh individu yang difenominakan dalam suatu kejadian, gejala yang timbul, dan atau interaksi bagi individu dalam kondisi dan situasi tertentu dalam kehidupan sehari-hari pada suatu masyarakat tertentu. Pada pendekatan konstruksionistik sama halnya dengan pendekatan fenomenologi. Ia berusaha mengkaji masuk kedalam dunia makna yang terkonsep (terkonsruksi) dalam diri individu yang kemudian digejalakan dalam bentuk fenomena.
Dengan kata lain ia menerobos ke dalam untuk mengungkap makna (noumena) yang ada di balik tindakan yang digejalakan/ditampilkan oleh individu dalam kehidupannya sehari-hari (everiday life). Asumsi dari pendekatan ini adalah bahwa bagi individu melakukan interaksi dengan sesamanya ada banyak cara penafsiran pengalaman. Makna dari pengalaman itulah yang sebenarnya membentuk konstruksi realitas tindakan yang digejalakan.
Pusat perhatian pendekatan ini adalah pada permasalahan menyangkut esensi dan struktur pengalaman dari tindakan yang digejalakan dalam kehidupan masyarakat. Apa yang tampak pada suatu tindakan itu mengandung banyak makna. Makna yang ada berbeda pada masing-masing individu pelaku, karenanya diperlukan pemahaman secara interpretatif (interpretative understanding) untuk dapat mengungkap berbagai makna yang dikonstruksi oleh masing-masing individu yang digejalakan dalam bentuk berbagai tindakan (actions).
Penelitian ini mengambil lokasi di Bustanul Athfal Aisyiyah Jetis, Bustanul Athfal Aisyiyah Wonoketro dan Bustanul Athfal Aisyiyah Kutukulon yang semuanya berada di tiga desa di wilayah kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur.
Dalam penelitian ini yang dijadikan subyek penelitian (informan) adalah guru yang mengajar di Bustanul Athfal Aisyiyah Jetis, Bustanul Athfal Aisyiyah Wonoketro dan Bustanul Athfal Aisyiyah Kutukulon.
Tekhnik pengambilan sampel dilakukan dengan ‘purposive sampling’ yaitu dengan mengambil tiga dari empat belas Bustanul Athfal Aisyiyah yang ada di kecamatan Jetis, yakni Bustanul Athfal Aisyiyah Jetis, Bustanul Athfal Aisyiyah Wonoketro dan Bustanul Athfal Aisyiyah Kutukulon.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan pengamatan berperanserta secara lengkap. Artinya peneliti menjadi anggota penuh dari kelompok yang diamatinya. Dengan demikian peneliti dapat memperoleh informasi apa saja yang dibutuhkannya. Pengamatan difokuskan pada bagaimana bentuk dan type bias gender dalam proses pendidikan anak usia dini di Bustanul Athfal Aisyiyah Jetis, Bustanul Athfal Aisyiyah Wonoketro dan Bustanul Athfal Aisyiyah Kutukulon. Untuk mendukung pengamatan, peneliti juga menggunakan catatan lapangan untuk mengumpulkan data. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh lebih akurat. Selanjutnya untuk memperkuat data dari hasil pengamatan peneliti juga melakukan wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara dilakukan dengan guru yang mengajar di Bustanul Athfal Aisyiyah Jetis, Bustanul Athfal Aisyiyah Wonoketro dan Bustanul Athfal Aisyiyah Kutukulon.
Berdasarkan pola azas kegiatan penelitian kualitatif, aktifitas analisis data dimaksudkan untuk mengorganisasikan data. Data yang terkumpul untuk mengorganisasikan data. Data yang terkumpul terdiri dari catatan lapangan dan tanggapan peneliti. Pekerjaan analisis data dalam hal ini ialah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan mengkategorisasikannya. Pengorganisasian dan pengelolaan data tersebut bertujuan menemukan tema yang akhirnya diangkat menjadi teori substantif. Analisis data dilakukan dengan suatu proses, artinya pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif sesudah meninggalkan lapangan penelitian (Moleong , 2006:281).
Dalam penelitian ini proses analisis data dilakukan dengan grounded research model Glaser dan Strauss yang mencakup empat tahap. Pertama reduksi data , yakni membuat identifikasi satuan (unit) yang ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian, lalu unit ini diberi kode agar dapat ditelusuri data/ satuannya. Kedua, kategorisasi (menyusun kategori) yakni memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian – bagian yang memiliki kesamaan. Ketiga, sintesisasi (mensintesiskan) berarti mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori lainnya. Keempat, menyusun hipotesis kerja yakni merumuskan suatu pernyataan yang proporsional (teori substantif) yang menjawab pertanyaan penelitian ( Moleong, 2006 : 288 – 289).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bentuk Bias Gender Dalam Pendidikan Anak Usia Dini
Di Bustanul Athfal Aisyiyah Kutu Kulon untuk masuk kekelas siswa laki-laki dan perempuan berbaris secara terpisah. Barisan laki-laki dan perempuan sama-sama rapi. Guru meminta barisan perempuan untuk masuk lebih dulu. Dalam hal ini ada bentuk bias gender berupa stereotype bahwa rapi identik dengan perempuan. Selain itu juga ada papan nama siswa dengan gambar Gajah, baik dikelas A dan B. Gambar Gajah ini identik dengan Powerful yang merupakan konstruksi dominasi patriarki.
Sementara itu di Bustanul Athfal Aisyiyah Wonoketro Anak perempuan banyak yang diantar oleh orang tuanya dan bahkan ditunggui di ruang kelas. Anak laki – laki jarang yang ditunggui oleh orang tuanya. Sejak anak-anak, perempuan cenderung lebih di lindungi oleh orang tuanya (over protected) dan akhirnya jadi kurang mandiri dan setelah dewasa perempuan berpikir mereka akan di lindungi oleh suaminya. Dalam hal ini ada bentuk bias gender berupa woman Subordination. Di sekolah ini laki-laki lebih berani keluar masuk kelas pada saat jam pelajaran dan guru membiarkan. Proses pendidikan di usia dini turut mengkontruksikan pemahaman bahwa laki-laki sudah biasa untuk tampil berani dan hal ini kurang etis bila dilakukan perempuan. Bentuk bias gender berupa Double Standart.
Di ketiga sekolah tersebut gambar tas perempuan cenderung feminin dengan gambar Barbie, Stroberry, Panda, Kucing, boneka, dengan warna mayoritas pink, biru, merah, hijau. Gambar tas laki-laki cenderung maskulin dengan gambar Robot, Phantom, Naruto, spiderman, Batman, dan tokoh hero lain dengan warna kuat biru, hitam, merah, coklat. Produk pendidikan yang berupa alat dan perlengkapan belajar ternyata sudah di desain dengan bias gender. Bentuk bias gender berupa feminity yang mengindentikan perempuan dengan perilaku yang lemah lembut, halus dan lemah.
Di Bustanul Athfal Aisyiyah Wonoketro, Kutukulon dan Jetis pada jam istirahat, siswa laki-laki mendominasi permainan yang menantang, contoh : memanjat tali, dan seluncuran. Siswa perempuan cenderung memilih mainan yang tidak berbahaya seperti ayunan dan jungkat- jungkit. Lembaga pendidikan dini secara tidak langsung turut mengkontruksi sifat maskulin dan feminine pada diri anak. Dalam hal ini telah terjadi bentuk bias gender berupa stereotype dan sexisme. Sejak anak-anak laki-laki sudah terbiasa dengan permainan yang menantang dan menurut kode etik di masyarakat itu hal yang biasa.”Moral Code” di masyarakat sejak awal sudah bias gender.
Di Bustanul Athfal Aisyiyah Jetis pada saat upacara bendera anak laki-laki ingin di depan dan di bolehkan guru. Komandan upacara langsung guru menunjuk laki-laki, Untuk pengibar bendera guru langsung menunjuk 3 anak perempuan. Tindakan ini merupakan bentuk bias gender berupa stereotype dan sexisme. Asumsi pemimpin harus laki-laki dan kerapian identik dengan perempuan turut mengkontruksi bias gender dalam pendidikan anak usia dini.
Di Bustanul Athfal Aisyiyah Jetis yang maju mengerjakan soal ke depan laki-laki dulu. Padahal saat mengerjakan soal, perempuan cenderung selesai lebih dulu. Stereotype bahwa laki-laki jadi pemimpim berakibat pada pemberian previllage pada anak laki-laki baik secara sadar maupun tidak. Sebaliknya, perempuan terlanjur termarginalisasi dan tertrivialisasi sehingga kurang di perhitungkan. Ketika di Tanya guru siapa yamg nangis sebelum ke sekolah, kebanyakan wanita menangis karena factor cengeng dan laki-laki factor bermain-main sebelum sekolah.Perempuan di stereotypekan sebagai makluk yang lemah sehingga sejak anak-anak mereka juga merasa lemah.
Di Bustanul Athfal Aisyiyah Kutu Kulon di kelas B pada saat proses belajar, guru meminta siswa untuk menjawab pertanyaan. Ada beberapa siswa dan siswi yang mengacungkan tangan, tapi guru menunjuk laki-laki lebih dulu. Stereotype bahwa laki-laki adalah pemimpin menjadikan guru pun lebih mengutamakan laki-laki dulu, secara tidak langsung akan membunuh potensi perempuan pelan-pelan.
Di Bustanul Athfal Aisyiyah Kutu Kulon Pada saat pelajaran meronce, anak laki-laki cenderung kurang telaten sehingga guru cenderung membimbing anak laki-laki daripada anak perempuan. Stereotype bahwa perempuan bersifat teliti dan telaten menjadikan guru percaya bahwa anak perempuan lebih bisa pada pelajaran meronce sehingga guru lebih banyak membimbing anak laki-laki pada pelajaran meronce.
Bustanul Athfal Aisyiyah Wonoketro saat di ajar anak laki-laki ada yang keluar kelas, bermain dan ada yang bertengkar. sedangkan anak perempuan cenderung lebih cerewet, banyak bicara. Anak laki-laki cenderung lebih agresif dalam bertindak. Moral code di masyarakat mentolerir kalau anak laki-laki keluar dari system atau menentang kontruksi sosial. Gosip identik dengan perempuan merupakan stereotype yang di kontruksi secara sosial dalam system patriarki.
Di Bustanul Athfal Aisyiyah Jetis Guru cenderung lebih dekat dengan anak laki-laki. Saat hafalkan doa, anak laki-laki di tunjuk lebih dulu. Saat guru mengajari perempuan, anak laki-laki bermain-main tapi saat guru mengajari anak laki-laki, anak perempuan diam. Ada satu anak laki-laki keluar kelas dibiarkan,tapi pada saat ada satu anak perempuan keluar kelas guru mengajaknya masuk. Yang di tanya cenderung anak laki-laki, meski ada anak perempuan mengacungkan jari. Guru sering menunjuk anak laki-laki. Stereotype bahwa anak laki-laki lebih dominan dalam segala hal, mengakibatkan over generalization bahwa laki-laki lebih penting dari perempuan sehingga guru cenderung mengutamakan laki-laki daripada perempuan.

Marginalisasi Perempuan
Marginalisasi perempuan dalam proses pendidikan terdapat pada saat upacara hari Senin di BA Asisyiyah Jetis. Dari hasil observasi dapat diperoleh data bahwa terdapat bias gender dalam pelaksanaan upacara bendera hari senin di BA Aisyiyah Jetis. Diantara bias gender tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, anak laki-laki ingin berada di barisan depan dan guru membolehkan itu. Perempuan berada di belakang merupakan bentuk marginalisasi perempuan. Akhirnya akan tertanam dalam pikiran anak bahwa laki-laki punya posisi di depan dan perempuan di belakang. Pemahaman konsep ini akan berlanjut dan terbawa hingga dewasa. Kedua, untuk menjadi komandan upacara guru langsung menunjuk anak laki-laki. Padahal padahal anak perempuan juga punya hak untuk dapat pengalaman menjadi pemimpin. Dengan adanya dominasi anak laki-laki maka posisi perempuan cenderung akan termarginalisasi dan tertrivialisasi. Dengan perlakuan seperti ini anak perempuan cenderung di posisi belakang. Ketiga, petugas pengibar bendera guru menunjuk 3 anak perempuan. Meskipun hal ini lebih bersifat spontanisasi tapi penunjukan ini berindikasi bias gender. Ada stereotype bahwa kerapian dan keserasian itu milik perempuan. Dari asumsi ini akhirnya sejak kecil perempuan cenderung terlatih untuk rapi dan selalu serasi dalam berbagai hal. Akhirnya laki-laki kurang dapat kesempatan untuk mengembangkan potensi kerapian dan keserasian dalam hidup.
Sexisme
Dari hasil pengamatan dapat diperoleh hasil bentuk sexisme sebagai berikut. Pertama, tas laki-laki bergambar super hero dan dengan warna yang kuat . Gambar tas anak laki-laki berupa gambar super hero seperti superman, spiderman, batman, naruto dll yang berkonotasi powerful dan di padu dengan warna yang kuat seperti merah , biru hitam dlll. Ini merupakan sumber inspirasi bagi kaum laki-laki untuk kelak menjadi orang yang powerful dan unggul di masyarakat. Sedang tas perempuan cenderung bergambar feminine seperti boneka, Barbie, strawberry, dengan warna pink, biru muda dan warna lembut lain yang bersifat feminine. Ini berkonotasi bahwa wanita adalah makhluk lemah yang harus dilindungi. Akhirnya perempuan cenderung kurang berani dan lebih bersifat pasif. Tampaknya bias gender dalam dunia pendidikan usia dini sudah melibatkan berbagai pihak mulai dari pabrik tas, sepatu, orang tua murid dan tak terkecuali guru dan sistem di sekolah.Kedua, di kelas B ketika para siswa mengerjakan soal, guru meminta anak laki-laki ke depan lebih dulu. Priorotas ini cenderung berakibat munculnya ‘previlage’ pada diri anak laki-laki yang akhirnya akan cenderung mendominasi dalam kehidupan di masyarakat

KESIMPULAN DAN SARAN
Dari Pemabahasan di atas dapat disimpulkan bahwa bias gender dalam pendidikan anak usia dini mencakup berbagai aspek yang terkadang tak disadari oleh pendidik. Aspek tersebut meliputi subordinasi perempuan , marginalisasi perempuan dan sexisme. Selain itu, media pendidikan turut menyumbangkan peran pada bias gender. Misalnya mainan anak-anak dan tas anak yang sudah didesain untuk adanya bias gender. Kesadaran keadilan gender yang rendah di kalangan pendidik sering juga menimbulkan bias gender dalam pendidikan formal. Anak-anak usia dini adalah sebagai korban system ketidakadilan gender. Sehingga terkadang perempuan kurang bisa berkembang maksimal.
Dari kesimpulan diatas penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut. Pertama, perlu adanya matakuliah tentang gender untuk pendidikan guru TK di perguruan tinggi sehingga mereka lebih tahu apa itugender. Kedua, perlu adanya perspektif gender dalam menyusun mata pelajaran di dalam pendidikan anak usia dini. Ketiga, orang tua perlu tahu tentang gender dan dapat menghindari bias gender dalam pendidikan. Keempat, semua lembaga dan instansi yang terkait dengan pendidikan anak usia dini mesti memperhatikan masalah gender dalam membuat kebijakan pendidikan untuk anak usia dini.


DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H., 1985, A Glossary of Lliterary Terms. New York: Harcourt Brace Jovanovicch College Publisher.

Dayati.,2006, Menjadi Orang Tua yang Cerdas dan Hebat. Makalah Seminar Ikatan Guru Bustanul Athfal Aisyiyah Cabang Ponorogo. 16 September 2006 di Ponorogo.

Dyden,Gordon dan Vos, Jeannette.,2000, Revolusi cara Belajar ,Bandung:
Penerbit Kaifa.

Fakih, M, 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fatchan, Ach., 2006, Metode Penelitian Kialitatif. Makalah Seminar - Lokakarya 22-23 Agustus 2006 LPPM Iniversitas Muhammadiyah Ponorogo.

Freeman, J, 1984, Woman : A Feminist Perspective. California: Mayfield Publishing Company.

Henever, N.K.,1983, International Law and the Status of Women. Colorado: Westview Press

Kourany, J A.,1993, Feminist Philosophies. New York: Harvester Wheatsheef.

Lindsey, L., 1994, Gender Roles: A Sociological Perspective. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.

Selden, R, 1993, A Reader Guide to Contemporary Literary Theory. New York: Harvester Wheatsheaf.

Spivak, G.C,1983, Displacement and the Discourse of Women. Burkingham: Iniversity Press.

Stamm, L, 1984, Social Power and Influence of women. Colorado: West View Press.Inc.

Wollstonecraft, M, 1929, The Right of women. London : J.M. Dent and Sons Ltd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar