Senin, 28 Mei 2012

PENELITIAN TINDAKAN KELAS

A.    Judul : Meningkatkan Kemampuan Menulis  Text Narative Siswa Kelas X SMAN 1 Sambit, Ponorogo melalui Cooperative Learning 
B.    Latar Belakang
Pembelajaran Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing meliputi empat ketrampilan bahasa yakni; menyimak, membaca, berbicara dan menulis. Menulis merupakan ketrampilan yang produktif karena siswa dituntut mampu menghasilkan karya tulis berupa kalimat, pagragraf, dan text. Selain karya tulis tersebut di atas, siswa juga perlu mempertimbangkan diksi, tatabahasa, organisasi teks yang koheren dan unity serta generic structure text. Untuk menghasilkan karya tulis yang baik, hal tersebut merupakan proses yang panjang dan berat bagi siswa.
Berdasarkan sillabus yang tertera di SMAN 1 Sambit Ponorogo, pelajaran Writing kelas X tentang narrative text disajikan dalam KD 6.2 dan 12.2. Berdasarkan pengalaman peneliti, siswa sering menghadapi kesulitan dalam penulisan text narative. Kadangkala masih banyak kesalahan pada text yang mereka tulis, mulai pemilihan kata - kata, tatabahasa yang tidak sesuai dengan aturan penulisan, sampai pada makna yang sulit dipahami bagi pembaca. Itu semua karena rendahnya pengetahuan menulis juga bahasa yang mereka gunakan bukan bahasa sendiri. Motivasi siswa yang rendah menyebabkan mereka tidak tertarik terhadap kegiatan Writing yang juga berakibat pada aktivitas yang membosankan, karena kurangnya pengetahuan proses menulis.
Beberapa permasalahan yang kongkret yang dihadapi oleh pembelajar bahasa asing khususnya diproses pembelajaran menulis dikelas adalah sebagai berikut:
1.     Ketika siswa mulai menulis paragraf, mereka kurang biasa mengkaitkan gagasan yang ada di benak mereka kedalam bentuk tulisan, yang berakibat pada lemahnya text yang mereka tulis dari sudut uniti dan keherensi.
2.     Siswa masih lemah dalam pengorganisasian informasi kedalam teks yang akurat secara order dan penggunakan  transition signal yang tidak tepat yang hasilnya text yang mereka tulis, sulit dipahami oleh pembaca.
3.     Kebanyakan siswa masih miskin ide dan imaginasi untuk dikembangkan ke dalam tulisan narrative.
Mengacu pada permasalahan di atas, guru merupakan kunci dalam kelancaran proses pembelajaran Writing narrative text. Guru harus mampu memotivasi siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran Writing. Disini guru bisa memandu siswa untuk meningkatkan thinking process (Brown, 2001:340). Guru hendaknya juga mampu menyajikan strategi pembelajaran yang mengacu pada keaktifan siswa yang juga berdampak pada peningkatan motivasi di pelajaran Writing. Pembelajaran  Writing idealnya penuh dengan activitas yang menyenangakan dan menantang bagi siswa untuk berdiskusi. Dengan metode diskusi, siswa bisa belajar berargumentasi, mendengarkan pendapat teman, menjelaskan dan memberi pemahaman terhadap teman diskusinya. Siswa bahkan mampu menjelaskan  gagasan-gagasan mereka ke teman lainnya menggunakan  bahasa informal yang dengan mudah difahami oleh kelompoknya. Dengan menerapkan pembelajaran semacam ini, semua siswa mempunyai kesempatan berpartisispasi secara aktif dan tiap-tiap siswa mempunyai pelbagai ketrampilan bekomunikasi yang disampaikan ke dalam kerja kelompok. Bahkan untuk menulis dengan baik, pembelajar bahasa harus menguasai strategi yang tepat untuk penulisan text.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk pembelajaran Writing, salah satunya strategi Belajar Kerjasama (Cooperative Learning). Strategi ini mampu mengatasi kebosanan dalam aktivitas menulis di kelas karena strategi ini melibatkan semua elemen di dalam kelas, guru dan siswa juga sesama siswa mampu berinteraksi satu sama lain, selain itu guru mampu memandu siswa dalam aktivitas proses menulis sehingga kendala yang sering dialami siswa yaitu buntu dalam mengeksplorasi ide dalam menulis bisa teratasi.
Cooperative Learning (CL) memberikan cara tertentu untuk mengorganisasikan kerja kelompok sehinga kemampuan writing siswa meningkat. Dengan  penerapan Cooperative Learning (CL), pembelajar mampu berinteraksi yang berdampak pada motivasi mereka dalam pembelajaran meningkat karena dalam proses interaksi membantu siswa mengembangkan pemahaman mereka pada bahasa target dan memberi peluang kepada mereka untuk secara praktis menggunakan bahasa yang mereka pelajari (Kessler, 1992:1). Dia juga menyatakan bahwa Cooperative Learning (CL) memberikan peluang kepada pembelajar untuk meningkatkan kemampuan mereka berkomunikasi dengan bahasa Inggris.
Mempertimbangkan pernyataan di atas, peneliti yakin bahwa strategi Cooperative Learning (CL) mempunyai peran sangat penting di dalam meningkatkan kompetensi menulis siswa. Peneliti juga berasumsi bahwa Cooperative Learning (CL) merupakan strategi yang sangat cocok untuk proses pembelajaran di tingkat SMA seperti pada lingkungan SMAN 1 Sambit Ponorogo sebab strategi ini memberikan kesempatan bagi siswa untuk berfikir secara independen. Strategi Cooperative Learning (CL) diterapkan dengan cara mengelompokkan siswa kedalam kelompok (grup) kecil terdiri dari tiga atau empat siswa, sehingga jika anggota kelompoknya terlalu kecil akan berakibat gagasan-gagasan yang akan disampaikan dalam kelompok hanya sedikit, sedangkan kalau terlalu banyak anggota kelompok akan berakibat pada diskusi yang tidak focus pada pembicaraaan (topik) yang penting yang juga akan mempengaruhi kurang efektifnya kerja kelompok.
Berdasarkan pada kajian awal yang dilakukan peneliti di SMAN 1 Sambit Ponorogo pada bulan Januari 2012, dijumpai beberapa fakta yang ada kaitannya dengan proses pembelajaran ketrampilan menulis, sebagai berikut:
1.     Siswa tampak kebingungan ketika mereka diharapkan menulis, khususnya menulis text. Hal tersebut dikarenakan  mereka tidak tahu bagaimana, apa dan dari mana mereka mulai menulis, yang berakibat siswa kurang termotivasi untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru.
2.      Siswa memiliki pengetahuan yang minim tentang bagaimana menulis text narrative. Hal ini termasuk lemahnya penguasaan kosakata dan grammar serta rendahnya daya imaginasi siswa.
3.     Masih sulit merubah budaya lisan ke budaya tulis. Siswa pada umumnya mampu ngobrol bercerita berjam –jam dengan temannya tapi ketika disuruh menulis apa isi obrolan dan cerita tadi mereka mendadak kehilangan ide.
Ditinjau dari keprihatinan di kelas, maka perlu adanya pengimplementasian suatu strategi yang melibatkan antara guru dan siswa secara aktif di dalam aktifitas pembelajaran. Beberapa metode dan strategi yang telah dikembangkan untuk mengatasi proses pembelajaran yang lebih bermakna di pembelajaran menulis, salah satunya adalah strategi yang bisa membantu siswa dalam mengorganisasi dan mengembangkan gagasan-gagasan mereka dalam menulis text narative yaitu startegi Cooperative Learning.
Pada penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa strategi Cooperative Learning sangatlah tepat digunakan pada pembelajaran  Writing. Pertama, karena strategi ini mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh siswa yang sedang belajar menulis. Kedua, strategi ini memberi keuntungan dalam proses menulis karena  mampu memotivasi siswa, meningkatkan kemampuan berinteraksi di kelas, menciptakan lingkungan belajar yang positif dan mampu meningkatkan kemampuan menulis mereka. siswa bisa bekerjasama dan bertukar pikiran ketika mereka menjumpai kesulitan dalam menggali gagasan yang ada di benak mereka pada saat mulai menulis.
Fenomena di atas memotivasi peneliti untuk mengadakan penelitian tidakan kelas dengan judul Meningkatkan Kemampuan Menulis Text Narative Siswa Kelas X SMAN 1 Sambit, Ponorogo melalui Cooperative Learning.” Sedangkan alasan yang mendasari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.   Implementasi strategi Cooperative Learning diharapkan mampu mengatasi permasalahan siswa dalam pembelajaran Writing karena strategi ini mampu meningkatkan keahlian menulis mereka.
2.   Strategi Cooperative Learning efektif untuk meningkatkan keahlian menulis, dan siswa akan lebih percaya diri. Selain itu strategi ini memberi peluang yang seluas-luasnya bagi siswa untuk berinteraksi secara social di dalam kelompok serta kesamaan derajat untuk berpatisipasi di kelas. Sehingga siswa yang pintar dan yang lemah mampu belajar bersama dan saling mengisi serta mereka mempunyai kesamaan perilaku dalam proses pembelajaran, oleh sebab itu strategi Cooperative Learning merupakan strategi yang sangat sesuai untuk semua level.
3.   Strategi Cooperative Learning mampu menciptakan suasana kelas yang lebih santai dan menyenangkan karena startegi ini menawarkan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi satu sama lain dan juga mampu mencipatakan lingkungan belajar yang lebih positif.
4.   Dengan implementasi startegi Cooperative Learning, siswa akan terbiasa menggunakan pelbagai cara dalam menyelesaikan masalah menulis secara kooperatif. Karena strategi Cooperative Learning mengajarkan nilai-nilai kerjasama dalam membantu sesama siswa, membangun komunitas di dalam kelas dan juga mengajarkan basic life skills, seperti; belajar mendengarkan pendapat orang lain, menghargai opini orang lain, berkomunikasi secara intensif dan kerjasama mencapai tujuan prestasi. Di kelas yang menggunakan strategi Cooperative Learning, siswa secara sosial berbagi gagasan dan pengetahuan serta mampu menggunakan strategi belajar secara kelompok.
5.   Strategi Cooperative Learning sangat potensial untuk mengurangi dampak negative dari kompetisi di dalam kelas karena mereka berusaha saling membantu untuk menyalesaikan tugas secara kelompok.
Dari fenomina diatas, membuat peneliti berinisistif untuk melakukan penelitian impelementasi Cooperative Learning karena strategi ini tepat untuk meningkatkan kopentensi menulis siswa.
 


C.    Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah diatas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut; “Bagaimanakah cara meningkatkan kemampuan menulis text narative siswa kelas X SMAN 1 Sambit, Ponorogo melalui cooperative Learning?”
D.    Tujuan
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui bagaimana cara meningkatkan kemampuan menulis text narrative siswa SMAN 1 Sambit, Ponoropgo melalui Cooperative Learning.
E.    Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan wacana tentang teori pembelajaran menulis menggunakan Cooperative Learning bagi para guru bahasa Inggris dan juga memberikan kontribusi keilmuan bagi sekolah dalam pengembangan strategi pembelajaran.
Secara praktis, penelitian ini merupakan masukan berharga bagi guru, sebagai strategi alternatif untuk pembelajaran menulis khususnya penulisan text narative. Sedangkan bagi siswa, diharapkan dapat meningkatkan motivasi serta kemampuan menulis text narative.

F. Kajian Pustaka
1. Menulis Paragraf
Sesuai pendapat Cramer (1989:20) a paragraph is a group of sentences put together, one right after another. These sentences tell about one general theme or idea. This idea is called the main idea. Sedangkan Oshima dan Hogue (1983:3), mendifinisikan a paragraph is a basic unit of organization in writing in which a group of related sentences develops one idea. Paragraf bisa pendek yang terdiri dari satu kalimat ataupun panjang yang terdiri dari sepuluh kalimat atau lebih. Jumlah kalimat bukanlah hal yang penting bahkan paragraf tidak perlu panjang semasa cukup memberikan informasi dan menjabarkan pikiran utama. Fungsi paragraf ialah membantu pembaca dalam membedakan gagasan satu ke gagasan berikutnya dari sebuah komposisi. Sedangkan menurut (McCrimmon, 1984). A paragraph can be seen as a set of related sentences that work together to express or develop an idea. Mencermati definisi tersebut, bisa di simpulkan bahwa paragraf merupakan satu kesatuan dari karya tulis yang mengekspresikan gagasan yang dikembangkan melalui kalimat pendukung dan saling berhubungan erat satu sama lain.
Menurut Oshima dan Hogue (1983:3), Kriteria paragraf yang baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.
a.      Kalimat Topik
Paragraf yang efectif dan baik harus mempunyai satu pokok dan dikembangkan dalam bentuk kalimat topik. Kalimat topik merupakan pernyataan dan ringkasan yang akan dikembangkan dalam paragraf. Biasanya kalimat topik berada di awal, di tengah dan di akhir paragraf.
b.     Kalimat Pengembang
Kalimat pendukung berfungsi sebagai penjabar dari kalimat topik. Kalimat pendukung semua mengacu pada kalimat topik sehingga paragraf dapat memenuhi kriteria ke-uniti-annya.
c.      Kesatuan
Sebuah paragraf dikatakan mempunyai kesatuan apabila paragraf tersebut membahas hanya satu pokok pikiran yang sebagai kalimat topik. Jadi paragraf yang mempunyai uniti yaitu kalimat-kalimat pengembang yang fokus pada kalimat topik.
d.     Koherensi
Paragraf dipertimbangkan mempunyai coherensi, apabila kalimat pendukung terikat satu sama lain sehingga pembaca akan lebih mudah membaca dari satu kalimat ke kalimat berikutnya.  Koherensi dapat tercipta di dalam paragraf apabila penulis secara akurat menggunakan transitional signal. Transitional signal merupakan kata-kata yang menghubungkan kalimat satu dengan lainnya seperti; and, or, but, thus, for example dan lainnya.
Para panulis menggunakan paragraf untuk mangelompokkan gagasan dan membantu pembaca untuk lebih mudah mengikuti alur pemikiran penulis.. Menurut pendapat Sorenson (1997), the paragraph that stands alone is written somewhat differently than one that is one block for a longer of writing.
2. Narrative Text
a. Definition and Social Function of Narrative Text
Narrative Text is a text containing story. It can be in the form of folktale/ folklore, fable, Legend, short story, fairy tale, myth, etc. The main function of this text is to entertain the readers with actual or imaginary experience in different ways. Narrative always deals with some problems which lead to the climax and then turn into a solution to the problem. (Http://marsudiono-marsudiono.blogspot.com)
b. Generic Structure of Narrative Text
1). Orientation
It is the background of the story which tells about who, when, where, and what is the story about.
 2). Complication:
A problem arises and followed by other problems which lead to the climax of conflict in the story. A story can have complication more than one.
3). Evaluation:
It is optional. The aims is to make the story more interesting.
4). Resolution:
It is the problem solving of the problem which can end with happy ending or sad ending or tragedy.
c. Language Features of Narrative Text
1.     Use of noun phrases ( a beautiful princess, a huge temple)
2.     Use of adverbial phrases of time and place ( in the garden, two days ago)
3.     Use of simple past tense ( He walked away from the village)
4.     Use of action verbs ( walked, slept)
5.     Use of adjectives phrases ( long black hair)
d. Model of Narrative Text

Romeo and Juliet
Orientation:     Montague and Juliet Capulet lived in Verona. They met at party and it was love at first sight. Their families were enemies so the young couple could not meet in the open. They got married in secret with the help of a priest, friar Laurence, and Juliet’s maid.
Complication: Juliet’s cousin, Tybalt, hated Romeo and the Montagues. One day, he met Romeo and his friend Mercutio in the street. They had a sword fight and Mercutio was killed. Romeo was so upset that he attacked and killed Tybalt m revenge.
Evaluation:     As a result of this, Romeo had to leave Verona to save his life. He visited Juliet secretly that night and then left for Mantua. Juliet’s parents wanted Juliet to marry Paris, a friend of the family. They arranged the marriage and Juliet was horrified. She asked friar Laurence to help her. He suggested a plain: he gave her a drug to make her sleep for a long time and appear dead to everyone else. When Juliet woke up, she could join Romeo in Mantua. Friar Laurence promised to write to Romeo and explain the plan.
Resolution:     The night before the wedding, Juliet took the drug and her family found her “dead” in the morning. The wedding celebration turned into a funeral. Unfortunately, Romeo never received the letter from friar Laurence. He returned to Verona, when he found Juliet’s body. He thought she was dead and he was so devastated that the killed himself. When Juliet woke up and saw Romeo lying dead beside her, she killed herself too, with his dagger.
As a result of this tragic of events, the Capulets and the Montagues agreed to stop fighting and live in peace together

3.  Cooperative Learning
Bagian ini akan dibahas menganai Cooperative Learning dan beberapa elemennya.
a. Cooperative Learning
Pendapat (Jacob, 1999:13) Cooperative Learning is a diverse group of instructional methods in which small groups of students work together and aid each other in completing academic tasks. It is one of the most remarkable and fertile areas of theory, research, and practice in education (Johnson, et al., 2000). It offers to organize the group works to enhance learning and increase academic achievement (Olsen and Kagan in Kessler, 1992:1).  Cooperative Learning seharusnya diatur secara seksama sehingga setiap pembelajar mampu berinteraksi satu dengan yang lainnya sehingga pembelajar mampu meningkakan motivasi mereka dalam belajar.
Selanjutnya, Balkcom (1992) beropini bahwa Cooperative Learning is a successful teaching strategy in which small teams, each with students of different levels of ability, use a variety of learning activities to improve their understanding of a subject. Setiap anggota kelompok bertanggungjawab terhadap proses pembelajaran yang diajarkan dan juga membantu teamworknya sehingga tercipta atmosfir prestasi yang membanggakan.
Sedangkan, Millis (1996) mendifinisikan Cooperative Learning sebagai sebuah prosedur instruksional untuk kelompok kecil dalam pembelajaran.  Pembelajar bekerjasama dalam menyelesaian tugas akademik dalam bentuk kelompok kecil yang saling membantu satu dengan lainya. Jadi secara  umum Cooperative Learning  harus mempunyai lima karakteristik: (1) Pembelajar bekerja sama dalam menyelesaikan tugas dengan pengendalian yang baik melalui kelompok kerja. (2) Pembelajar terdiri dari kelompok kecil yang beraggotakan tiga sampai lima pembelajar. (3) Pembelajar harus mempunyai ketrampilan berperilaku pro-sosial dalam aktivitas pembelajaran. (4) Pembelajar sebaiknya mempunyai positive- interdependent sehingga mereka merasa saling membutuhkan. (5) Pembelajar secara individu mempunyai akuntabilitas dan tanggungjawab atas kerja kelompoknya.
Selanjutnya beliau menegaskan pentingnya Cooperative Learning karena Cooperative Learning meningkatkan prestasi belajar dengan cara (1) menyediakan a shared cognitive set of information diantara pembelajar, (2) memotivasi pembelajar untuk menguasai materi, (3) meyakinkan pembelajar bahwa mereka mampu menyusun strategi pengetahuan masing-masing, (4) menyediakan formative feedback, (5) mengembangkan ketrampilan sosial, dan (6) memberi semangat interaksi positif diantara anggota yang berbeda sosial, budaya, ekonomi dan kemampuannya.
Secara singkat, berdasarkan pada teori di atas, Cooperative Learning dapat diaplikasikan untuk segala tingkatan, areal, subyek dan bentuk tugas apapun dengan dibarengi hubungan positive interpersonal serta kondisi psikologis yang sehat. Pernyataan ini didukung oleh (Johnson, 1994) bahwa Cooperative Learning  mampu memberikan dampak yang luar biasa terhadap pembelajaran language content dan skills semasa perilaku positif diterapkan dalam pembelajaran bahasa asing/kedua kedalam situasi riil.

b. Elemen-Elemen Cooperative Learning
 Menurut Johnson and Johnson (1998) Cooperative Learning akan efeektif dengan memenuhi tujuh komponen dasar. Yang pertama dan yang paling penting dalam pelaksanaan Cooperative Learning  adalah positive interdependence. Elelmen ini akan tercapai ketika anggota kelompok berhubungan satu sama anggota lainnya. (Jacob, 1999). Ketika positive interdependence telah solid terbentuk, maka Cooperative Learning akan berjalan dengan mudah karena (a) usaha tiap angota kelompok akan diperlukan untuk keberhasilan kelompok dan (b) tiap anggota kelompok mempunyai kontribusi untuk meentukan usaha bersama.
Elemen yang kedua merupakan kunci utama dalam menjembatani keefektifan Cooperative Learning  yaitu rasa tanggung jawab atas kontribusi dirinya untuk menghantarkan tujuan kelompok. Ini meliputi tanggung jawab untuk (1) saling melengkapi satu dengan lainnya dan memfasilitasi pekerjaan anggota kelompok dengan cara mengurangi sifat egois. Although the students learn together, each must perform alone to show that he or she has to focus skills or knowledge (Jacob, 1999).
Elemen yang ketiga adalah promotive interaction yang bisa didefinisikan sebagai interaksi daalam anggota kelompok untuk mendorong dan mendukung tiap usaha anggota untuk menyelesaikan tugas sehingga dengan mudah akan mencapai tujuan dari kelompok.
Yang keempat adalah ketrampilan sosial yang meliputi cara pembelajar berinteraksi sesama anggota kelompok untuk meencapai tujuan tugas (Olsen and Kagan in Kessler, 1992). Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, pembelajar seyogyanya diajarkan ketrampilan untuk meningkatkan mutu dari kerjasama dengan cara, pembelajar harus (1) saling percaya dan memahami, (2) berkomunikasi secara akurat dan tidak membingungkan, (3) saling menerima dan mendukung dan (4) Memecahkan masalah secar konstruktif. Ahkirnya, ketrampilan sosial membentuk dan memelihara kelanggengan persahabatan, saling sayang, saling perduli dalam kehidupan bertetangga (Johnson and Johnson, 1998).
Elemen yang kelima yaitu proses dalam kelompok, ini merupakan refleksi kinerja dalam kelompok untuk (1)  memastikan apakah kegiatan adri tiap-tiap anggota saling membentu atau belum (2) membuat keputusan apakah pelaksanaan ari tiap-tiap anggota diteruskan atau dirubah. Untuk mencapai tujuan tersebut, pembelajar pada kelompok Cooperative Learning  harus bekerja secara efektif karena akan berpengaruh pada apa yang direncanakan dalam proses telah mengalmi perubahan.
Elemen yang keenam adalah struktur. Struktur merupakan perrilaku individu dalam kelompok dalam berinteraksi yang dilakukan selangkah demi selangkah (Olsen and Kagan in Kessler, 1992:17). Sebagai contoh dalam strategi Think-Pair-Share-Square, langkah pertama pembelajar memikirkan dari pertanyaan secara individu, kedua meng interview temannya. Kemudian mengubah yang berpasangan kedalam bentuk saling berhadapan berbentuk segi empat dalam bertukar pikiran.
Elemen yang terakhir adalah pengelompokan secara heterogen. Stahl (1994) menyarankan bahwa dosen seharusnya mengatur anggota kelompok yang terdiri dari tiga, empat atau lima pembelajar sehingga ada peluang untuk terbentuk kelompok yang hiterogen berdasarkan kemampuannya., mulai kemampuan akademik, ras, gender sampai status sosial ekonomi.
Sebagai kesimpulan Cooperative Learning  merupakan salah satu strategi untuk mengatur pembelajar berkerjasama dalam bentuk kelompok kecil yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan dalam proses belajar dan pembelajaran Writing
c. Peran Guru di Kelas Cooperative Learning
Banyak peran guru dalam pelaksanaan Cooperative Learning  di kelas bahasa, seperti yang di klsifikasikan Mc Donell in Kessler (1992) diantaranya adalah sebagai; pemeriksa, pencipta, pengamat, fasilitator dan agen perubahan. Keterangan lebih lanjut, peneliti membahas sebagai berikut.
Sebagai pemeriksa, peran guru adalah mengtahui hal-hal yang berhubungan dengan pembelajar tentang usia, tingkat kemampuan, pengalaman dan minat. Dengan peran ini guru dapat memahami budaya dan perbedaan linguistik siswanya.
Sebagai pencipta, peran guru harus mampu menciptakan lingkungan belajar yang sehat dan nyaman serta tertata rapi. Petama menciptakan iklim sosial, kemudian menyusun program yang terkait dengan program pembelajaran serta pendekatan yang akan digunakan sehingga tujuan pemebelajaran akan tercapai dengan mudah.
Peran berikut sebagai pengamat, peran ini adalah mengamati minat, keunggulan, kebutuhan dan perasaan pembelajar. Observasi merupakan keputusan mendasar unutk mengatahui kemajuan dari . Dosen juga bisa mengetahui apa yang diambil maupun dibawa dari pengalaman belajar. Melalui observasi dosen dapat menemukan pertanyaan yang unik dari  dan juga cara menyelesaikannya, bahkan mampu mengases tentang budaya berbahasa , interaksi dalam kelompok mereka dan memonitor peserta  dalam mempraktekan ketrampilan sosialnya. Yang terakhir dari observasi ialah sebagai refleksi cara dan metode dosen dalm proses belajar dan pembelajaran.
 Berikut peran guru sebagai fasilitator yaitu memberikan  peserta didik dengan peran kebermaknaan, panduan menyelesaikan masalah da, dukungan serta dorongan untuk termotivasi dalam belajar. Through this role the teacher can easily interact, teach, refocus, question, clarify, support, expand, give feedback, observe students extending activity, encourage thinking, and manage conflict and redirect the group.
The last one is teacher as a change agent. In this case, the teacher has a key role in reforming classroom. According to Mc Donell in Kessler (1992), by becoming researchers, teachers can become experts and take over control of their classrooms. They trust their intuitions, take risks, and believe in themselves as part of the decision-making process.
G.    Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan (action research), karena penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah pembelajaran di kelas. Penelitian ini juga termasuk penelitian deskriptif, sebab menggambarkan bagaimana suatu teknik pembelajaran diterapkan dan bagaimana hasil yang diinginkan dapat dicapai. 
Menurut Oja dan Sumarjan (dalam Titik Sugiarti, 1997:8) mengelompokkan penelitian tindakan menjadi empat macam yaitu, (a) guru sebagai peneliti; (b) penelitian tindakan kolaboratif; (c) simultan terintegratif; (d) administrasi social eksperimental.
Dalam penelitian tindakan ini menggunakan bentuk guru sebagai peneliti, penanggung jawab penuh penelitian ini adalah guru. Tujuan utama dari penelitian tindakan ini adalah untuk meningkatkan hasil pembelajaran di kelas dimana guru secara penuh terlibat dalam penelitian mulai dari perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi.
Dalam penelitian ini peneliti tidak bekerjasama dengan siapapun, kehadiran peneliti sebagai guru di kelas sebagai pengajar tetap dan dilakukan seperti biasa, sehingga siswa tidak tahu kalau diteliti. Dengan cara ini diharapkan didapatkan data yang seobjektif mungkin demi kevalidan data yang diperluklan

1. Setting Penelitian
  1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian adalah tempat yang digunakan dalam melakukan penelitian untuk memperoleh data yang diinginkan. Penelitian ini bertempat di SMA N I Sambit Tahun Pelajaran 2011/2012.
  1. Waktu Penelitian
Waktu penelitian adalah waktu berlangsungnya penelitian atau saat penelitian ini dilangsungkan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember semester gasal tahun pelajaran 2011/2012.
  1. Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah siswa-siswi Kelas X A SMA N I Sambit      Tahun Pelajaran 2011/2012. Pada pokok bahasan menulis  narrative text.

  1. Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK), PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana praktek pembelajaran tersebut dilakukan (dalam Mukhlis, 2003:3)
Sedangkan menurut Mukhlis (2003:5) PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat sistematis reflektif oleh pelaku tindakan untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan.
Adapun tujuan utama dari PTK adalah untuk memperbaiki/meningkatkan praktek pembelajaran secara berkesinambungan, sedangkan tujuan penyertaannya adalah menumbuhkan budaya meneliti di kalangan guru (Mukhlis, 2003:5)
Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan,   maka penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam Sugiarti, 1997:6), yaitu berbentuk spiral dari siklus yang satu ke siklus yang berikutnya. Setiap siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus I dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan. Siklus spiral dari tahap-tahap penelitian tindakan kelas dapat dilihat pada gambar berikut.








Left Arrow: Putaran 1



Left Arrow: Putaran 2



Left Arrow: Putaran 3

 


















Gambar 3.1. Alur PTK


Penjelasan alur di atas adalah :
  1. Rancangan/rencana awal, sebelum mengadakan penelitian peneliti menyusun rumusan masalah, tujuan dan membuat rencana tindakan, termasuk di dalamnya instrument penelitian dan perangkat pembelajaran.
  2. Kegiatan dan pengamatan, meliputi tindakan yang dilakukan oleh peneliti sebagai upaya membangun pemahaman konsep siswa serta mengamati hasil atau dampak dari diterapkannya metode pembelajaran model kontekstual berbasis masalah.
  3. Refleksi, peneliti mengkaji, melihat dan mempertimbangkan hasil atau dampak dari tindakan yang dilakukan berdasarkan lembar pengamatan yang diisi oleh pengamat.
  4. Rancangan/rencana yang direvisi, berdasarkan hasil refleksi dari pengamat membuat rancangan yang direvisi untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya.
Observasi dibagi dalam tiga putaran, yaitu putaran 1, 2 dan 3, dimana masing putaran dikenai perlakuan yang sama (alur kegiatan yang sama) dan membahas satu sub pokok bahasan yang diakhiri dengan tes formatif di akhir masing putaran. Dibuat dalam tiga putaran dimaksudkan untuk memperbaiki sistem pengajaran yang telah dilaksanakan.

a.     Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan  saat melaksanakan penelitian dalam upaya untuk mencari dan mengumpulkan data penelitian.Dalam hal ini data yang di peroleh berasal dari tes individu,hasil angket respon siswa dan hasil observasi.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
  1. Silabus
Yaitu seperangkat rencana dan pengaturan tentang kegiatan pembelajaran pengelolaan kelas, serta penilaian hasil belajar.
  1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Yaitu merupakan perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman guru dalam mengajar dan disusun untuk tiap putaran. Masing-masing RPP berisi kompetisi dasar, indikator pencapain hasil belajar, tujuan pembelajaran khusus, dan kegiatan belajar mengajar.
  1. Tes
Tes ini disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, digunakan untuk mengukur kemampuan menulis narrative text.  Tes ini diberikan setiap akhir putaran. Bentuk soal yang diberikan adalah tes menulis text narative.
  1. Lembar observasi
Lembar ini berisi daftar jenis jenis kegiatan yang mungkin muncul dan akan diamati untuk menggambarkan aktifitas siswa dan pengelolaan guru selama proses pembelajaran berlangsung.
  1. Angket respon siswa
Angket adalah suatu pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui ( Arikunto, 2002:128 ). Angket ditujukan pada siswa untuk mengetahui bagaimana respon siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Angket respon siswa ini merupakan angket tertutup dan diberikan pada setiap akhir siklus.

b.       Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan instrument yang telah dipilih, maka metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah :
1.     Metode Tes
Tes digunakan untuk memperoleh data tentang hasil belajar siswa. Tes yang dilakukan dalam penelitian ini adalah tes hasil belajar secara individu dan klasikal
2.     Metode Observasi
Lembar observasi meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Jadi mengobservasi adalah mengamati secara langsung melalui penglihatan. Disini guru melakukan pengamatan terhadap segala fenomena yang muncul pada setiap pembelajaran. Dalam hal ini tentang aktifitas siswa dan pengelolaan pembelajaran.
3.     Metode Angket
Angket diberikan untuk memperoleh data tentang penilaian siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Angket digunakan untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap pembelajaran matematika menggunakan metode pembelajaran kontekstual model pengajaran berbasis masalah.

c.        Teknik Analisis Data
Untuk memgetahui keefektivan suatu mode dalam kegiatan pembelajaran perlu diadakan analisis data. Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh dengan tujuan untuk mengetahui prestasi belajar yang dicapai siswa juga untuk memperoleh respon terhadap kegiatan pembelajaran serta aktivitas siswa selama proses pembelajaran.
Untuk menganalisis tingkat keberhasilan atau persentase keberhasilan siswa setelah proses belajar mengajar setiap putarannya dilakukan dengan cara memberikan evaluasi berupa soal tes tertulis pada setiap akhir putaran. Berikut diuraikan secara ringkas teknik analisis pengolahan data
1.     Analisis Hasil Belajar
a.      Ketuntasan perorangan
Seorang siswa dikatakan berhasil mencapai ketuntasan belajar bila telah mencapai taraf penguasaan minimal 76 % atau dengan nilai 76. Untuk menghitung persentase ketuntasan belajar digunakan rumus sebagai berikut :

b.     Ketuntasan Klasikal
Suatu kelas telah berhasil mencapai ketuntasan belajar bila paling sedikit 85 % data jumlah siswa dalam kelas tersebut telah mencapai ketuntasan perorangan. Ketuntasan klasikal dapat dihitung dengan menggunakan rumus.
2.     Analisis Penguasaan Materi
Data penguasaan materi bisa tercapai bila seorang siswa telah mendapatkan nilai minimal 76.
3.     Analisis Aktivitas siswa dalam pembelajaran
Data aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung diperoleh dengan cara mengamati aktifitas siswa, dan hasil pengamatan dimasukkan dalam lembar observasi.
Tabel 3.1: Kriteria Aktifitas Siswa dalam Pembelajaran
Indikator
Skor
Skala penilaian
1.     Komunikasi dalam dsikusi memecahkan masalah
4
3
2
1
Sangat aktif
Aktif
Kurang aktif
Tidak aktif
2.     kerjasama  dan interaksi dalam kelompok
4
3
2
1
Sangat baik
Baik
Kurang baik
Tidak abaik
3.     keseriusan dalam diskusi
4
3
2
1
Sangat serius
Serius
Kurang serius
Tidak serius

Teknis Penilaian Aktivitas siswa
No
Nama Siswa
Indikator 1
Indikator 2
Indikator 3
Jumlah / nulai
4
3
2
1
4
3
2
1
4
3
2
1
1










10/A
2














dst














Skala penilaian : 10 – 12 Nilai A
                             7 –  9   Nilai B
     4 –  6   Nilai C
     1 –  3   Nilai K
Lihat Lampiran 8 Hal 73


4.        Analisis Kemampuan Guru Dalam Pembelajaran
Data kemampuan peneliti dalam mengelola pembelajaran akan dianalisis dengan menghitung nilai rata-rata hasil pengamatan kemampuan peneliti yang diberikan pengamat pada setiap pertemuan, dengan menggunakan rumus :
Keterangan : R = nilai rata-rata
Kriteria tingkat kemampuan peneliti / guru dalam mengelola pembelajaran adalah sebagai berikut :
Tabel 3.2 Kriteria kemampuan Guru mengelola Pembelajaran
Tingkatan
Keterangan
1,00 ≤ tingkat < 1,50
Tidak baik
1,50 ≤ tingkat < 2,50
Kurang baik
2,50 ≤ tingkat < 3,50
Cukup baik
3,50 ≤ tingkat < 4,50
Baik
4,50 ≤ tingkat < 5,00
Sangat baik
(Hasratuddin , dalam Andrianto 2008:32)
Kemampuan guru mengelola pembelajaran dikatakan efektif jika nilai rata-rata semua aspek yang diamati pada setiap pertemuan minimal mencapai kategori baik.
Jika rata-rata hasil pengamatan semua aspek yang diamati pada setiap pertemuan tidak memenuhi kategori minimal baik, maka akan dijadikan bahan pertimbangan untuk merevisi perangkat pembelajaran.
  1. Analisis ketertarikan siswa.
Untuk mengetahui ketertarikan siswa terhadap proses pembelajaran peneliti menggunakan angket untuk mengetahui ketertarikan siswa. Siswa dikatakan tertarik terhadap proses pembelajaran bila paling sedikit 75% dari jumlah siswa dalam kelas tersebut menjawab atau mengisi angket dengan jawaban setuju sebanyak minimal 5 butir soal ( 60 % dari aspek pertanyaan )
d.       Indikator Keberhasilan
Komponen-komponen yang menjadi indikator keberhasilan tercapainya peningkatan kualitas pembelajaran matematika dan kesuksesan dalam melakukan tindakan pada setiap siklusnya adalah :
1.Hasil belajar
Peningkatan hasil belajar tercapai bila nilai rata-rata tes setiap siklus mengalami kenaikan  persentase jumlah siswa yang tuntas dalam belajar meningkat pada setiap siklusnya.
2. Keaktivan siswa dalam pembelajaran
Siswa aktif dalam pembelajaran bila aspek aktivitas siswa yang masuk dalam kategori A lebih banyak daripada aspek aktivitas siswa yang kategori B atau C. Serta jumlah aspek pengamatan yang kategori B atau C berkurang pada setiap siklusnya.
  3. Pengelolaan pembelajaran
Pengelolaan pembelajaran efektif bila nilai rata-rata hasil pengamatan semua aspek yang diamati pada setiap siklus minimal mencapai kriteria baik (≥3,50). Serta adanya peningkatan rata-rata hasil pengamatan semua aspek yang diamati pada setiap siklusnya
4.   Ketertarikan siswa terhadap pembelajaran
Ketertarikan siswa terhadap pembelajaran tercapai bila persentase ketertarikan siswa dalam satu kelas meningkat pada setiap siklusnya.
         Ketertarikan siswa terhadap pembelajaran tercapai bila persentase ketertarikan siswa dalam satu kelas meningkat pada setiap siklusnya.
H. Daftar Rujukan
Behrman, Carol H. 2003. Writing Proficiency Lessons and Activities. San Fransisco: Jossey-Bass A Wiley Imprint.
Bogdan, R. C. & Biklen, S. K. 1992. Qualitative Research in Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn & Bacon.
Brereton, John C. 1978.  A Plan for Writing, Second Edition. New York: Holt, Rinehart and Winston

Brown, H. D. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. New York: Addison-Wesley Longman, Inc.
Byrne, D. 1984. Teaching Writing Skills. Essex: Longman Group Ltd.
Cahyono, 2004. English Language Teaching and Learning in Indonesia, Malang. State University of Malang Press.

Cox, Carole. 1998. Teaching Language Arts: A Student-and Response Centered Classroom. Boston: Allyn and Bacon.


Farris, Pamela J. 1993. Language Arts: A Process Approach. Indianapolis: WCB. Brown & Benchmark Publisher.

Gebhard, J.G. 2000. Teaching English as a Foreign or Second Language: A Teacher Self-Development and Methodology Guide. Michigan: The University of Michigan Press.
Harmer, Jeremy. 2000. How to Teach English. An Introduction to the Practice of English Language Teaching. New York: Addison Wesley Longman Limited.

Hedge , 2003. Teaching and Learning in the Language Classroom, New York. Oxford University Press.

Herrmann, 1989. Teaching Writing with Peer Response Groups. Encourage Revision. ERIC Clearinghouse  on Reading and Communication Skills Bloomington In.

Jacob, E. 1999. Cooperative Learning in Context. An Educational Innovation in Everyday Classrooms. Albany: State University of  New York Press.
Johnson, D.W. and Johnson, R.T. (1991) Learning Together and Alone: Cooperative, Competitive, and Individualistic Learning (3rd edition). Massachusetts: Allyn and Bacon, A division of Simon and Schuster, Inc.
Inman, B. A., Gardner, R. 1979. Aspects of Composition. New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Kagan, S.  1992. Cooperative Learning. San Juan Capistrano: Kagan Cooperative Learning.

Kessler, C. (Ed). 1992. Cooperative Language Learning: A teacher’s Resource Book. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc.

Kroll, B. 1991. Teaching in the ESL Context., Boston; Heinkle & Heinkle Publishers.

Latief, M. Adnan. 1990. Assessment of English Writing Skills for Students of English as a Foreign Language at IKIP Malang. Unpublished Disertation. University of Iowa.

------------------ 2003. Getting Started: Outlining. The Writing Process. http://webster.comnet.edu/grammar/composition/brainstorm_outline.      

McNiff, Jean. 1992. Action Research. Principles and Practice. London: Routledge

Millis, B. J. 1996. Cooperative Learning. The University of Tennessee at Chattanooga. In Office of Instructional Consultation, UCSB. (Online), (http://www.utc.edu/Teaching-Resource-Center/CoopLear.html, downloaded on July 18, 2004).

Mukminatien, N. 1997. The Differences of Students’ Writing Achievements Across Different Course Levels. Unpublished Dissertation. IKIP  Malang.


O'Malley and Pierece, 1996, Authentic Assessment for English Language Learning, Practical Approach for Teacher. U.S.A.; Addison Wesley.

Oshima, A, & Hogue, A. 1983. Writing Academic English: A Writing and Sentence Structure Workbook for International Students. Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company.

Raimes, A. 1983. Techniques in Teaching Writing. Oxford: Oxford University Press
Rasyid, Fathur. 1999. Teaching Argumentative Writing Through Cooperative Learning. An Unpublished Thesis. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang.
Reinking, J. A., & Andrew W. H., & R.V. der Osten. 1999.  Strategies for Successful Writing: A Retoric, Research Guide, Reader and Handbook. New Jersey: Prentice Hall.

Rivers, Wilga M. 1981. Teaching Foreign-Language Skills. 2nd Edition. Chicago: The University of Chicago Press.

Sharan, Shlomo.(Ed.). 1999. Handbook of Cooperative Learning Methods. London: Praeger Publishers.
Slavin, Robert.E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Second Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Sorenson Sharon. 1997. Webster’s New World: Student Writing Handbook, Fourth Edition. Foster City: An International Data group Company.

Stahl, R. J. 1994. The Essential Elements of Cooperative Learning in the Classroom. ERIC Digest. ERIC Clearing house for Social Studies/Social Science Education Bloomington IN. (Online), (http://www..ericfacility.net/databases/ERIC_Digests/ed370881.html , downloaded on March 31, 2006).

Suyanto, K. Kasbolah E & Sukaryana, I Wayan, 2001. Penelitian Tindakan Kelas. Malang: Penerbit Universitas Negari Malang.

Smalley, Regina L., Ruetten, Mary K., & Kozyrev, Joann R. 2001. Refining Composition Skill: Rhetoric and Grammar. Boston: Heinle & heinle Publishers.

Temple, C., Nathan, R., Burris, N., & Temple, F. 1988. The Beginnings of Writing. Massachusetts: Allyn and Bacon, Inc.

Tompkins, Gail.E., & Hoskisson, Kenneth.1991. Language Arts: Content and Teaching Strategies. USA: Macmillan Publishing Company.

Tompkins, Gail E. 1994. Teaching writing: Balancing Process and Product. 2nd edition. New York: Macmillan College Publishing Company, Inc.