A. Judul
: Meningkatkan Kemampuan Menulis Text
Narative Siswa Kelas X SMAN 1 Sambit, Ponorogo melalui Cooperative
Learning
B. Latar
Belakang
Pembelajaran Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing meliputi
empat ketrampilan bahasa yakni; menyimak, membaca, berbicara dan menulis.
Menulis merupakan ketrampilan yang produktif karena siswa dituntut mampu
menghasilkan karya tulis berupa kalimat, pagragraf, dan text. Selain karya
tulis tersebut di atas, siswa juga perlu mempertimbangkan diksi, tatabahasa, organisasi
teks yang koheren dan unity serta generic structure text. Untuk menghasilkan
karya tulis yang baik, hal tersebut merupakan proses yang panjang dan berat
bagi siswa.
Berdasarkan sillabus yang tertera di SMAN 1 Sambit Ponorogo, pelajaran Writing
kelas X tentang narrative text disajikan dalam KD 6.2 dan 12.2. Berdasarkan
pengalaman peneliti, siswa sering menghadapi kesulitan dalam penulisan text
narative. Kadangkala masih banyak kesalahan pada text yang mereka tulis, mulai
pemilihan kata - kata, tatabahasa yang tidak sesuai dengan aturan penulisan,
sampai pada makna yang sulit dipahami bagi pembaca. Itu semua karena rendahnya
pengetahuan menulis juga bahasa yang mereka gunakan bukan bahasa sendiri.
Motivasi siswa yang rendah menyebabkan mereka tidak tertarik terhadap kegiatan Writing
yang juga berakibat pada aktivitas yang membosankan, karena kurangnya
pengetahuan proses menulis.
Beberapa permasalahan yang kongkret yang dihadapi oleh
pembelajar bahasa asing khususnya diproses pembelajaran menulis dikelas adalah
sebagai berikut:
1.
Ketika siswa mulai menulis paragraf, mereka kurang biasa
mengkaitkan gagasan yang ada di benak mereka kedalam bentuk tulisan, yang
berakibat pada lemahnya text yang mereka tulis dari sudut uniti dan keherensi.
2.
Siswa masih lemah dalam pengorganisasian informasi
kedalam teks yang akurat secara order dan penggunakan transition signal yang tidak tepat yang
hasilnya text yang mereka tulis, sulit dipahami oleh pembaca.
3.
Kebanyakan siswa masih miskin ide dan imaginasi untuk
dikembangkan ke dalam tulisan narrative.
Mengacu pada permasalahan di atas, guru merupakan kunci dalam kelancaran
proses pembelajaran Writing narrative text. Guru harus mampu memotivasi siswa
untuk aktif dalam proses pembelajaran Writing. Disini guru bisa memandu siswa
untuk meningkatkan thinking process (Brown, 2001:340). Guru hendaknya
juga mampu menyajikan strategi pembelajaran yang mengacu pada keaktifan siswa
yang juga berdampak pada peningkatan motivasi di pelajaran Writing. Pembelajaran
Writing idealnya penuh dengan
activitas yang menyenangakan dan menantang bagi siswa untuk berdiskusi. Dengan
metode diskusi, siswa bisa belajar berargumentasi, mendengarkan pendapat teman,
menjelaskan dan memberi pemahaman terhadap teman diskusinya. Siswa bahkan mampu
menjelaskan gagasan-gagasan mereka ke
teman lainnya menggunakan bahasa
informal yang dengan mudah difahami oleh kelompoknya. Dengan menerapkan pembelajaran
semacam ini, semua siswa mempunyai kesempatan berpartisispasi secara aktif dan
tiap-tiap siswa mempunyai pelbagai ketrampilan bekomunikasi yang disampaikan ke
dalam kerja kelompok. Bahkan untuk menulis dengan baik, pembelajar bahasa harus
menguasai strategi yang tepat untuk penulisan text.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk pembelajaran Writing, salah
satunya strategi Belajar Kerjasama (Cooperative Learning). Strategi ini mampu
mengatasi kebosanan dalam aktivitas menulis di kelas karena strategi ini
melibatkan semua elemen di dalam kelas, guru dan siswa juga sesama siswa mampu
berinteraksi satu sama lain, selain itu guru mampu memandu siswa dalam
aktivitas proses menulis sehingga kendala yang sering dialami siswa yaitu buntu
dalam mengeksplorasi ide dalam menulis bisa teratasi.
Cooperative Learning
(CL) memberikan
cara tertentu untuk mengorganisasikan kerja kelompok sehinga kemampuan writing siswa
meningkat. Dengan penerapan Cooperative
Learning (CL), pembelajar mampu berinteraksi yang berdampak pada motivasi
mereka dalam pembelajaran meningkat karena dalam proses interaksi membantu siswa
mengembangkan pemahaman mereka pada bahasa target dan memberi peluang
kepada mereka untuk secara praktis menggunakan bahasa yang mereka pelajari
(Kessler, 1992:1). Dia juga menyatakan bahwa Cooperative Learning (CL)
memberikan peluang kepada pembelajar untuk meningkatkan kemampuan mereka berkomunikasi
dengan bahasa Inggris.
Mempertimbangkan
pernyataan di atas, peneliti yakin bahwa strategi Cooperative Learning (CL)
mempunyai peran sangat penting di dalam meningkatkan kompetensi menulis siswa.
Peneliti juga berasumsi bahwa Cooperative Learning (CL) merupakan
strategi yang sangat cocok untuk proses pembelajaran di tingkat SMA seperti
pada lingkungan SMAN 1 Sambit Ponorogo sebab strategi ini memberikan kesempatan
bagi siswa untuk berfikir secara independen. Strategi Cooperative
Learning (CL) diterapkan dengan cara mengelompokkan siswa kedalam kelompok
(grup) kecil terdiri dari tiga atau empat siswa, sehingga jika anggota
kelompoknya terlalu kecil akan berakibat gagasan-gagasan yang akan disampaikan
dalam kelompok hanya sedikit, sedangkan kalau terlalu banyak anggota kelompok
akan berakibat pada diskusi yang tidak focus pada pembicaraaan (topik) yang
penting yang juga akan mempengaruhi kurang efektifnya kerja kelompok.
Berdasarkan pada kajian awal yang dilakukan peneliti di SMAN
1 Sambit Ponorogo pada bulan Januari 2012, dijumpai beberapa fakta yang ada
kaitannya dengan proses pembelajaran ketrampilan menulis, sebagai berikut:
1.
Siswa tampak kebingungan ketika mereka
diharapkan menulis, khususnya menulis text. Hal tersebut dikarenakan mereka tidak tahu bagaimana, apa dan dari mana
mereka mulai menulis, yang berakibat siswa kurang termotivasi untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru.
2.
Siswa
memiliki pengetahuan yang minim tentang bagaimana menulis text narrative. Hal
ini termasuk lemahnya penguasaan kosakata dan grammar serta rendahnya daya
imaginasi siswa.
3.
Masih sulit merubah budaya lisan ke budaya
tulis. Siswa pada umumnya mampu ngobrol bercerita berjam –jam dengan temannya
tapi ketika disuruh menulis apa isi obrolan dan cerita tadi mereka mendadak
kehilangan ide.
Ditinjau dari
keprihatinan di kelas, maka perlu adanya pengimplementasian suatu strategi yang
melibatkan antara guru dan siswa secara aktif di dalam aktifitas pembelajaran. Beberapa
metode dan strategi yang telah dikembangkan untuk mengatasi proses pembelajaran
yang lebih bermakna di pembelajaran menulis, salah satunya adalah strategi yang
bisa membantu siswa dalam mengorganisasi dan mengembangkan gagasan-gagasan
mereka dalam menulis text narative yaitu startegi Cooperative Learning.
Pada
penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa strategi Cooperative Learning sangatlah
tepat digunakan pada pembelajaran Writing.
Pertama, karena strategi ini mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh
siswa yang sedang belajar menulis. Kedua, strategi ini memberi keuntungan dalam
proses menulis karena mampu memotivasi siswa,
meningkatkan kemampuan berinteraksi di kelas, menciptakan lingkungan belajar
yang positif dan mampu meningkatkan kemampuan menulis mereka. siswa bisa
bekerjasama dan bertukar pikiran ketika mereka menjumpai kesulitan dalam
menggali gagasan yang ada di benak mereka pada saat mulai menulis.
Fenomena di atas memotivasi peneliti untuk mengadakan
penelitian tidakan kelas dengan judul “Meningkatkan Kemampuan Menulis Text Narative Siswa Kelas X SMAN 1 Sambit,
Ponorogo melalui Cooperative Learning.” Sedangkan alasan yang mendasari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Implementasi strategi Cooperative Learning diharapkan
mampu mengatasi permasalahan siswa dalam pembelajaran Writing karena
strategi ini mampu meningkatkan keahlian menulis mereka.
2.
Strategi Cooperative Learning efektif untuk
meningkatkan keahlian menulis, dan siswa akan lebih percaya diri. Selain itu
strategi ini memberi peluang yang seluas-luasnya bagi siswa untuk berinteraksi
secara social di dalam kelompok serta kesamaan derajat untuk berpatisipasi di
kelas. Sehingga siswa yang pintar dan yang lemah mampu belajar bersama dan
saling mengisi serta mereka mempunyai kesamaan perilaku dalam proses
pembelajaran, oleh sebab itu strategi Cooperative Learning merupakan strategi
yang sangat sesuai untuk semua level.
3.
Strategi Cooperative Learning mampu menciptakan
suasana kelas yang lebih santai dan menyenangkan karena startegi ini menawarkan
kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi satu sama lain dan juga mampu
mencipatakan lingkungan belajar yang lebih positif.
4.
Dengan implementasi startegi Cooperative Learning,
siswa akan terbiasa menggunakan pelbagai cara dalam menyelesaikan masalah
menulis secara kooperatif. Karena strategi Cooperative Learning mengajarkan
nilai-nilai kerjasama dalam membantu sesama siswa, membangun komunitas di dalam
kelas dan juga mengajarkan basic life skills, seperti; belajar mendengarkan
pendapat orang lain, menghargai opini orang lain, berkomunikasi secara intensif
dan kerjasama mencapai tujuan prestasi. Di kelas yang menggunakan strategi Cooperative
Learning, siswa secara sosial berbagi gagasan dan pengetahuan serta mampu
menggunakan strategi belajar secara kelompok.
5.
Strategi Cooperative Learning sangat potensial untuk
mengurangi dampak negative dari kompetisi di dalam kelas karena mereka berusaha
saling membantu untuk menyalesaikan tugas secara kelompok.
Dari fenomina diatas, membuat peneliti berinisistif untuk melakukan penelitian impelementasi Cooperative Learning karena strategi ini tepat untuk meningkatkan kopentensi menulis siswa.
C.
Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah diatas, peneliti
merumuskan masalah sebagai berikut; “Bagaimanakah cara meningkatkan kemampuan
menulis text narative siswa kelas X SMAN 1 Sambit, Ponorogo melalui cooperative
Learning?”
D.
Tujuan
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui bagaimana cara meningkatkan
kemampuan menulis text narrative siswa SMAN 1 Sambit, Ponoropgo melalui Cooperative
Learning.
E.
Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara
teoritis dan praktis. Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan wacana
tentang teori pembelajaran menulis menggunakan Cooperative Learning bagi
para guru bahasa Inggris dan juga memberikan kontribusi keilmuan bagi sekolah
dalam pengembangan strategi pembelajaran.
Secara praktis, penelitian ini merupakan masukan berharga bagi guru,
sebagai strategi alternatif untuk pembelajaran menulis khususnya penulisan text
narative. Sedangkan bagi siswa, diharapkan dapat meningkatkan motivasi serta
kemampuan menulis text narative.
F. Kajian
Pustaka
1. Menulis Paragraf
Sesuai pendapat Cramer (1989:20) a paragraph is a
group of sentences put together, one right after another. These sentences tell
about one general theme or idea. This idea is called the main idea. Sedangkan
Oshima dan Hogue (1983:3), mendifinisikan a paragraph is a basic unit of
organization in writing in which a group of related sentences develops one
idea. Paragraf bisa pendek yang terdiri dari satu kalimat ataupun panjang
yang terdiri dari sepuluh kalimat atau lebih. Jumlah kalimat bukanlah hal yang
penting bahkan paragraf tidak perlu panjang semasa cukup memberikan informasi
dan menjabarkan pikiran utama. Fungsi paragraf ialah membantu pembaca dalam
membedakan gagasan satu ke gagasan berikutnya dari sebuah komposisi. Sedangkan
menurut (McCrimmon, 1984). A paragraph can be seen as a set of related
sentences that work together to express or develop an idea. Mencermati
definisi tersebut, bisa di simpulkan bahwa paragraf merupakan satu kesatuan dari
karya tulis yang mengekspresikan gagasan yang dikembangkan melalui kalimat
pendukung dan saling berhubungan erat satu sama lain.
Menurut Oshima dan Hogue (1983:3), Kriteria paragraf yang
baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.
a.
Kalimat Topik
Paragraf yang efectif dan baik harus mempunyai satu
pokok dan dikembangkan dalam bentuk kalimat topik. Kalimat topik merupakan
pernyataan dan ringkasan yang akan dikembangkan dalam paragraf. Biasanya
kalimat topik berada di awal, di tengah dan di akhir paragraf.
b.
Kalimat Pengembang
Kalimat pendukung berfungsi sebagai penjabar dari
kalimat topik. Kalimat pendukung semua mengacu pada kalimat topik sehingga
paragraf dapat memenuhi kriteria ke-uniti-annya.
c.
Kesatuan
Sebuah paragraf dikatakan mempunyai kesatuan apabila
paragraf tersebut membahas hanya satu pokok pikiran yang sebagai kalimat topik.
Jadi paragraf yang mempunyai uniti yaitu kalimat-kalimat pengembang yang fokus
pada kalimat topik.
d.
Koherensi
Paragraf dipertimbangkan mempunyai coherensi, apabila
kalimat pendukung terikat satu sama lain sehingga pembaca akan lebih mudah
membaca dari satu kalimat ke kalimat berikutnya. Koherensi dapat tercipta di dalam paragraf
apabila penulis secara akurat menggunakan transitional signal. Transitional
signal merupakan kata-kata yang menghubungkan kalimat satu dengan lainnya
seperti; and, or, but, thus, for example dan lainnya.
Para panulis menggunakan paragraf untuk mangelompokkan
gagasan dan membantu pembaca untuk lebih mudah mengikuti alur pemikiran penulis..
Menurut pendapat Sorenson (1997), the paragraph that stands alone is written
somewhat differently than one that is one block for a longer of writing.
2. Narrative Text
a. Definition and Social Function
of Narrative Text
Narrative Text
is a text containing story. It can be in the form of folktale/ folklore, fable, Legend,
short story, fairy tale, myth, etc. The main function of this text is to
entertain the readers with actual or imaginary experience in different ways.
Narrative always deals with some problems which lead to the climax and then
turn into a solution to the problem. (Http://marsudiono-marsudiono.blogspot.com)
b. Generic Structure of Narrative Text
1). Orientation
It is the background of the story which tells about who,
when, where, and what is the story about.
2). Complication:
A problem arises and followed by other problems which lead to
the climax of conflict in the story. A story can have complication more than
one.
3). Evaluation:
It is optional. The aims is to make the story more
interesting.
4). Resolution:
It is the problem solving of the problem which can
end with happy ending or sad ending or tragedy.
c. Language Features of Narrative Text
1.
Use of noun phrases ( a beautiful princess, a huge
temple)
2.
Use of adverbial phrases of time and place ( in the
garden, two days ago)
3.
Use of simple past tense ( He walked away from the
village)
4.
Use of action verbs ( walked, slept)
5.
Use of adjectives phrases ( long black hair)
d. Model of Narrative Text
Romeo and Juliet
Orientation: Montague
and Juliet Capulet lived in Verona. They met at party and it was love at first
sight. Their families were enemies so the young couple could not meet in the
open. They got married in secret with the help of a priest, friar Laurence, and
Juliet’s maid.
Complication: Juliet’s cousin, Tybalt, hated Romeo and the
Montagues. One day, he met Romeo and his friend Mercutio in the street. They
had a sword fight and Mercutio was killed. Romeo was so upset that he attacked
and killed Tybalt m revenge.
Evaluation: As a result
of this, Romeo had to leave Verona to save his life. He visited Juliet secretly
that night and then left for Mantua. Juliet’s parents wanted Juliet to marry
Paris, a friend of the family. They arranged the marriage and Juliet was
horrified. She asked friar Laurence to help her. He suggested a plain: he gave
her a drug to make her sleep for a long time and appear dead to everyone else.
When Juliet woke up, she could join Romeo in Mantua. Friar Laurence promised to
write to Romeo and explain the plan.
Resolution: The night
before the wedding, Juliet took the drug and her family found her “dead” in the
morning. The wedding celebration turned into a funeral. Unfortunately, Romeo
never received the letter from friar Laurence. He returned to Verona, when he
found Juliet’s body. He thought she was dead and he was so devastated that the
killed himself. When Juliet woke up and saw Romeo lying dead beside her, she
killed herself too, with his dagger.
As a result of this tragic of events, the Capulets and
the Montagues agreed to stop fighting and live in peace together
3. Cooperative Learning
Bagian ini akan dibahas menganai Cooperative
Learning dan beberapa elemennya.
a. Cooperative Learning
Pendapat (Jacob, 1999:13) Cooperative Learning is a
diverse group of instructional methods in which small groups of students work
together and aid each other in completing academic tasks. It is one of the most
remarkable and fertile areas of theory, research, and practice in education
(Johnson, et al., 2000). It offers to organize the group works to enhance
learning and increase academic achievement (Olsen and Kagan in Kessler,
1992:1). Cooperative Learning
seharusnya diatur secara seksama sehingga setiap pembelajar mampu berinteraksi
satu dengan yang lainnya sehingga pembelajar mampu meningkakan motivasi mereka
dalam belajar.
Selanjutnya, Balkcom (1992) beropini bahwa
Cooperative Learning is a successful teaching strategy in which small teams,
each with students of different levels of ability, use a variety of learning
activities to improve their understanding of a subject. Setiap anggota
kelompok bertanggungjawab terhadap proses pembelajaran yang diajarkan dan juga
membantu teamworknya sehingga tercipta atmosfir prestasi yang
membanggakan.
Sedangkan, Millis (1996) mendifinisikan Cooperative
Learning sebagai sebuah prosedur instruksional untuk kelompok kecil dalam
pembelajaran. Pembelajar bekerjasama
dalam menyelesaian tugas akademik dalam bentuk kelompok kecil yang saling
membantu satu dengan lainya. Jadi secara umum Cooperative Learning harus mempunyai lima karakteristik: (1) Pembelajar
bekerja sama dalam menyelesaikan tugas dengan pengendalian yang baik melalui
kelompok kerja. (2) Pembelajar terdiri dari kelompok kecil yang beraggotakan
tiga sampai lima pembelajar. (3) Pembelajar harus mempunyai ketrampilan
berperilaku pro-sosial dalam aktivitas pembelajaran. (4) Pembelajar
sebaiknya mempunyai positive- interdependent sehingga mereka merasa
saling membutuhkan. (5) Pembelajar secara individu mempunyai akuntabilitas
dan tanggungjawab atas kerja kelompoknya.
Selanjutnya beliau menegaskan pentingnya Cooperative
Learning karena Cooperative Learning meningkatkan prestasi belajar
dengan cara (1) menyediakan a shared cognitive set of information diantara
pembelajar, (2) memotivasi pembelajar untuk menguasai materi, (3) meyakinkan
pembelajar bahwa mereka mampu menyusun strategi pengetahuan masing-masing, (4) menyediakan
formative feedback, (5) mengembangkan ketrampilan sosial, dan (6) memberi
semangat interaksi positif diantara anggota yang berbeda sosial, budaya,
ekonomi dan kemampuannya.
Secara singkat, berdasarkan pada teori di atas, Cooperative
Learning dapat diaplikasikan untuk segala tingkatan, areal, subyek dan
bentuk tugas apapun dengan dibarengi hubungan positive interpersonal serta
kondisi psikologis yang sehat. Pernyataan ini didukung oleh (Johnson,
1994) bahwa Cooperative Learning mampu memberikan dampak yang luar biasa
terhadap pembelajaran language content dan skills semasa perilaku
positif diterapkan dalam pembelajaran bahasa asing/kedua kedalam situasi riil.
b. Elemen-Elemen Cooperative Learning
Menurut
Johnson and Johnson (1998) Cooperative Learning akan efeektif dengan
memenuhi tujuh komponen dasar. Yang pertama dan yang paling penting dalam
pelaksanaan Cooperative Learning
adalah positive
interdependence. Elelmen ini akan tercapai ketika anggota
kelompok berhubungan satu sama anggota lainnya. (Jacob, 1999). Ketika positive
interdependence telah solid terbentuk, maka Cooperative Learning
akan berjalan dengan mudah karena (a) usaha tiap angota kelompok akan
diperlukan untuk keberhasilan kelompok dan (b) tiap anggota kelompok mempunyai
kontribusi untuk meentukan usaha bersama.
Elemen
yang kedua merupakan kunci utama dalam menjembatani keefektifan Cooperative
Learning yaitu rasa tanggung jawab
atas kontribusi dirinya untuk menghantarkan tujuan kelompok. Ini meliputi
tanggung jawab untuk (1) saling melengkapi satu dengan lainnya dan
memfasilitasi pekerjaan anggota kelompok dengan cara mengurangi sifat egois. Although
the students learn together, each must perform alone to show that he or she has
to focus skills or knowledge (Jacob, 1999).
Elemen
yang ketiga adalah promotive interaction yang bisa didefinisikan sebagai
interaksi daalam anggota kelompok untuk mendorong dan mendukung tiap usaha
anggota untuk menyelesaikan tugas sehingga dengan mudah akan mencapai tujuan
dari kelompok.
Yang
keempat adalah ketrampilan sosial yang meliputi cara pembelajar berinteraksi
sesama anggota kelompok untuk meencapai tujuan tugas (Olsen and Kagan in
Kessler, 1992). Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, pembelajar seyogyanya
diajarkan ketrampilan untuk meningkatkan mutu dari kerjasama dengan cara,
pembelajar harus (1) saling percaya dan memahami, (2) berkomunikasi secara
akurat dan tidak membingungkan, (3) saling menerima dan mendukung dan (4)
Memecahkan masalah secar konstruktif. Ahkirnya, ketrampilan sosial
membentuk dan memelihara kelanggengan persahabatan, saling sayang, saling
perduli dalam kehidupan bertetangga (Johnson and Johnson, 1998).
Elemen
yang kelima yaitu proses dalam kelompok, ini merupakan refleksi kinerja dalam
kelompok untuk (1) memastikan apakah
kegiatan adri tiap-tiap anggota saling membentu atau belum (2) membuat
keputusan apakah pelaksanaan ari tiap-tiap anggota diteruskan atau dirubah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pembelajar pada kelompok Cooperative
Learning harus bekerja secara
efektif karena akan berpengaruh pada apa yang direncanakan dalam proses telah
mengalmi perubahan.
Elemen
yang keenam adalah struktur. Struktur merupakan perrilaku individu dalam
kelompok dalam berinteraksi yang dilakukan selangkah demi selangkah (Olsen and
Kagan in Kessler, 1992:17). Sebagai contoh dalam strategi Think-Pair-Share-Square,
langkah pertama pembelajar memikirkan dari pertanyaan secara individu, kedua meng
interview temannya. Kemudian mengubah yang berpasangan kedalam bentuk
saling berhadapan berbentuk segi empat dalam bertukar pikiran.
Elemen
yang terakhir adalah pengelompokan secara heterogen. Stahl (1994) menyarankan
bahwa dosen seharusnya mengatur anggota kelompok yang terdiri dari tiga, empat
atau lima pembelajar sehingga ada peluang untuk terbentuk kelompok yang
hiterogen berdasarkan kemampuannya., mulai kemampuan akademik, ras, gender
sampai status sosial ekonomi.
Sebagai
kesimpulan Cooperative Learning
merupakan salah satu strategi untuk mengatur pembelajar berkerjasama
dalam bentuk kelompok kecil yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan dalam
proses belajar dan pembelajaran Writing
c. Peran Guru di Kelas Cooperative Learning
Banyak peran guru dalam pelaksanaan Cooperative
Learning di kelas bahasa, seperti
yang di klsifikasikan Mc Donell in Kessler (1992) diantaranya adalah sebagai;
pemeriksa, pencipta, pengamat, fasilitator dan agen perubahan. Keterangan lebih
lanjut, peneliti membahas sebagai berikut.
Sebagai pemeriksa, peran guru adalah mengtahui hal-hal
yang berhubungan dengan pembelajar tentang usia, tingkat kemampuan, pengalaman
dan minat. Dengan peran ini guru dapat memahami budaya dan perbedaan linguistik
siswanya.
Sebagai pencipta, peran guru harus mampu menciptakan
lingkungan belajar yang sehat dan nyaman serta tertata rapi. Petama menciptakan
iklim sosial, kemudian menyusun program yang terkait dengan program
pembelajaran serta pendekatan yang akan digunakan sehingga tujuan pemebelajaran
akan tercapai dengan mudah.
Peran berikut sebagai pengamat, peran ini adalah
mengamati minat, keunggulan, kebutuhan dan perasaan pembelajar. Observasi
merupakan keputusan mendasar unutk mengatahui kemajuan dari . Dosen juga bisa
mengetahui apa yang diambil maupun dibawa dari pengalaman belajar. Melalui
observasi dosen dapat menemukan pertanyaan yang unik dari dan juga cara menyelesaikannya, bahkan mampu
mengases tentang budaya berbahasa , interaksi dalam kelompok mereka dan
memonitor peserta dalam mempraktekan
ketrampilan sosialnya. Yang terakhir dari observasi ialah sebagai refleksi cara
dan metode dosen dalm proses belajar dan pembelajaran.
Berikut
peran guru sebagai fasilitator yaitu memberikan
peserta didik dengan peran kebermaknaan, panduan menyelesaikan masalah
da, dukungan serta dorongan untuk termotivasi dalam belajar. Through this role
the teacher can easily interact, teach, refocus, question, clarify, support,
expand, give feedback, observe students extending activity, encourage thinking,
and manage conflict and redirect the group.
The last one is teacher as a change agent. In this
case, the teacher has a key role in reforming classroom. According to Mc Donell
in Kessler (1992), by becoming researchers, teachers can become experts and
take over control of their classrooms. They trust their intuitions, take risks,
and believe in themselves as part of the decision-making process.
G.
Metodologi
Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan (action research), karena
penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah pembelajaran di kelas. Penelitian
ini juga termasuk penelitian deskriptif, sebab menggambarkan bagaimana suatu
teknik pembelajaran diterapkan dan bagaimana hasil yang diinginkan dapat
dicapai.
Menurut Oja dan Sumarjan
(dalam Titik Sugiarti, 1997:8) mengelompokkan penelitian tindakan menjadi empat
macam yaitu, (a) guru sebagai peneliti; (b) penelitian tindakan kolaboratif;
(c) simultan terintegratif; (d) administrasi social eksperimental.
Dalam penelitian tindakan ini menggunakan bentuk guru sebagai peneliti,
penanggung jawab penuh penelitian ini adalah guru. Tujuan utama dari penelitian
tindakan ini adalah untuk meningkatkan hasil pembelajaran di kelas dimana guru
secara penuh terlibat dalam penelitian mulai dari perencanaan, tindakan,
pengamatan, dan refleksi.
Dalam penelitian ini peneliti tidak bekerjasama dengan siapapun,
kehadiran peneliti sebagai guru di kelas sebagai pengajar tetap dan dilakukan
seperti biasa, sehingga siswa tidak tahu kalau diteliti. Dengan cara ini
diharapkan didapatkan data yang seobjektif mungkin demi kevalidan data yang
diperluklan
1. Setting Penelitian
- Tempat Penelitian
Tempat penelitian
adalah tempat yang digunakan dalam melakukan penelitian untuk memperoleh data
yang diinginkan. Penelitian ini bertempat di SMA N I Sambit Tahun Pelajaran
2011/2012.
- Waktu Penelitian
Waktu penelitian
adalah waktu berlangsungnya penelitian atau saat penelitian ini dilangsungkan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember semester
gasal tahun pelajaran 2011/2012.
- Subyek Penelitian
Subyek penelitian
adalah siswa-siswi Kelas X A SMA N I Sambit
Tahun Pelajaran 2011/2012. Pada pokok bahasan menulis narrative text.
- Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas
(PTK), PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku
tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan
mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap
tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana praktek
pembelajaran tersebut dilakukan (dalam Mukhlis, 2003:3)
Sedangkan menurut Mukhlis (2003:5) PTK adalah suatu
bentuk kajian yang bersifat sistematis reflektif oleh pelaku tindakan untuk
memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan.
Adapun tujuan utama dari PTK adalah untuk
memperbaiki/meningkatkan praktek pembelajaran secara berkesinambungan,
sedangkan tujuan penyertaannya adalah menumbuhkan budaya meneliti di kalangan
guru (Mukhlis, 2003:5)
Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu
penelitian tindakan, maka penelitian
ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam
Sugiarti, 1997:6), yaitu berbentuk spiral dari siklus yang satu ke siklus yang
berikutnya. Setiap siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan),
observation (pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus berikutnya
adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus I dilakukan
tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan. Siklus spiral dari
tahap-tahap penelitian tindakan kelas dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 3.1. Alur PTK
Penjelasan
alur di atas adalah :
- Rancangan/rencana awal, sebelum mengadakan penelitian peneliti menyusun rumusan masalah, tujuan dan membuat rencana tindakan, termasuk di dalamnya instrument penelitian dan perangkat pembelajaran.
- Kegiatan dan pengamatan, meliputi tindakan yang dilakukan oleh peneliti sebagai upaya membangun pemahaman konsep siswa serta mengamati hasil atau dampak dari diterapkannya metode pembelajaran model kontekstual berbasis masalah.
- Refleksi, peneliti mengkaji, melihat dan mempertimbangkan hasil atau dampak dari tindakan yang dilakukan berdasarkan lembar pengamatan yang diisi oleh pengamat.
- Rancangan/rencana yang direvisi, berdasarkan hasil refleksi dari pengamat membuat rancangan yang direvisi untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya.
Observasi dibagi
dalam tiga putaran, yaitu putaran 1, 2 dan 3, dimana masing putaran dikenai
perlakuan yang sama (alur kegiatan yang sama) dan membahas satu sub pokok bahasan
yang diakhiri dengan tes formatif di akhir masing putaran. Dibuat dalam tiga
putaran dimaksudkan untuk memperbaiki sistem pengajaran yang telah
dilaksanakan.
a. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan saat melaksanakan penelitian dalam upaya
untuk mencari dan mengumpulkan data penelitian.Dalam hal ini data yang di
peroleh berasal dari tes individu,hasil angket respon siswa dan hasil
observasi.
Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
- Silabus
Yaitu seperangkat rencana dan pengaturan
tentang kegiatan pembelajaran pengelolaan kelas, serta penilaian hasil belajar.
- Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Yaitu merupakan
perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman guru dalam mengajar dan
disusun untuk tiap putaran. Masing-masing RPP berisi kompetisi dasar, indikator
pencapain hasil belajar, tujuan pembelajaran khusus, dan kegiatan belajar
mengajar.
- Tes
Tes ini disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang akan
dicapai, digunakan untuk mengukur kemampuan menulis narrative text. Tes
ini diberikan setiap akhir putaran. Bentuk soal yang diberikan adalah tes
menulis text narative.
- Lembar observasi
Lembar ini berisi daftar jenis jenis kegiatan yang mungkin
muncul dan akan diamati untuk menggambarkan aktifitas siswa dan pengelolaan
guru selama proses pembelajaran berlangsung.
- Angket respon siswa
Angket adalah suatu pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau
hal-hal yang ia ketahui ( Arikunto, 2002:128 ). Angket ditujukan pada siswa
untuk mengetahui bagaimana respon siswa setelah mengikuti kegiatan
pembelajaran. Angket respon siswa
ini merupakan angket tertutup dan diberikan pada setiap akhir siklus.
b. Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan
instrument yang telah dipilih, maka metode yang digunakan untuk pengumpulan
data adalah :
1.
Metode Tes
Tes digunakan untuk memperoleh
data tentang hasil belajar siswa. Tes yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah tes hasil belajar secara individu dan klasikal
2.
Metode Observasi
Lembar observasi meliputi
kegiatan pemusatan perhatian terhadap objek dengan menggunakan seluruh alat
indra. Jadi mengobservasi adalah mengamati secara langsung melalui penglihatan.
Disini guru melakukan pengamatan terhadap segala fenomena yang muncul pada
setiap pembelajaran. Dalam hal ini tentang aktifitas siswa dan
pengelolaan pembelajaran.
3.
Metode Angket
Angket diberikan untuk
memperoleh data tentang penilaian siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
Angket digunakan untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap pembelajaran
matematika menggunakan metode pembelajaran kontekstual model pengajaran
berbasis masalah.
c.
Teknik
Analisis Data
Untuk
memgetahui keefektivan suatu mode dalam kegiatan pembelajaran perlu diadakan
analisis data. Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif
kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan
atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh dengan tujuan untuk mengetahui
prestasi belajar yang dicapai siswa juga untuk memperoleh respon terhadap
kegiatan pembelajaran serta aktivitas siswa selama proses pembelajaran.
Untuk
menganalisis tingkat keberhasilan atau persentase keberhasilan siswa setelah
proses belajar mengajar setiap putarannya dilakukan dengan cara memberikan
evaluasi berupa soal tes tertulis pada setiap akhir putaran. Berikut
diuraikan secara ringkas teknik analisis pengolahan data
1.
Analisis Hasil Belajar
a.
Ketuntasan perorangan
Seorang siswa dikatakan
berhasil mencapai ketuntasan belajar bila telah mencapai taraf penguasaan
minimal 76 % atau dengan nilai 76. Untuk menghitung persentase
ketuntasan belajar digunakan rumus sebagai berikut :
b.
Ketuntasan Klasikal
Suatu kelas telah berhasil
mencapai ketuntasan belajar bila paling sedikit 85 % data jumlah siswa dalam
kelas tersebut telah mencapai ketuntasan perorangan. Ketuntasan klasikal
dapat dihitung dengan menggunakan rumus.
2.
Analisis Penguasaan Materi
Data penguasaan materi bisa tercapai bila
seorang siswa telah mendapatkan nilai minimal 76.
3. Analisis Aktivitas siswa dalam
pembelajaran
Data aktivitas siswa selama kegiatan
pembelajaran berlangsung diperoleh dengan cara mengamati aktifitas siswa, dan
hasil pengamatan dimasukkan dalam lembar observasi.
Tabel 3.1: Kriteria Aktifitas Siswa dalam
Pembelajaran
Indikator
|
Skor
|
Skala penilaian
|
1. Komunikasi dalam dsikusi memecahkan
masalah
|
4
3
2
1
|
Sangat aktif
Aktif
Kurang aktif
Tidak aktif
|
2. kerjasama dan interaksi dalam kelompok
|
4
3
2
1
|
Sangat baik
Baik
Kurang baik
Tidak abaik
|
3.
keseriusan dalam diskusi
|
4
3
2
1
|
Sangat serius
Serius
Kurang serius
Tidak serius
|
Teknis Penilaian Aktivitas siswa
No
|
Nama Siswa
|
Indikator 1
|
Indikator 2
|
Indikator 3
|
Jumlah / nulai
|
|||||||||
4
|
3
|
2
|
1
|
4
|
3
|
2
|
1
|
4
|
3
|
2
|
1
|
|||
1
|
|
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
√
|
|
|
|
10/A
|
2
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
dst
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Skala penilaian
: 10 – 12 Nilai A
7 –
9 Nilai B
4 – 6 Nilai C
1 – 3 Nilai K
Lihat Lampiran 8 Hal 73
4. Analisis Kemampuan Guru Dalam
Pembelajaran
Data kemampuan peneliti dalam mengelola
pembelajaran akan dianalisis dengan menghitung nilai rata-rata hasil pengamatan
kemampuan peneliti yang diberikan pengamat pada setiap pertemuan, dengan
menggunakan rumus :
Keterangan
: R = nilai rata-rata
Kriteria tingkat kemampuan peneliti / guru
dalam mengelola pembelajaran adalah sebagai berikut :
Tabel 3.2
Kriteria kemampuan Guru mengelola Pembelajaran
Tingkatan
|
Keterangan
|
1,00 ≤ tingkat <
1,50
|
Tidak baik
|
1,50 ≤ tingkat <
2,50
|
Kurang baik
|
2,50 ≤ tingkat <
3,50
|
Cukup baik
|
3,50 ≤ tingkat <
4,50
|
Baik
|
4,50 ≤ tingkat <
5,00
|
Sangat baik
|
(Hasratuddin
, dalam Andrianto 2008:32)
Kemampuan guru mengelola pembelajaran
dikatakan efektif jika nilai rata-rata semua aspek yang diamati pada setiap
pertemuan minimal mencapai kategori baik.
Jika rata-rata hasil pengamatan semua
aspek yang diamati pada setiap pertemuan tidak memenuhi kategori minimal baik,
maka akan dijadikan bahan pertimbangan untuk merevisi perangkat pembelajaran.
- Analisis ketertarikan siswa.
Untuk mengetahui ketertarikan siswa
terhadap proses pembelajaran peneliti menggunakan angket untuk mengetahui ketertarikan
siswa. Siswa dikatakan tertarik terhadap proses pembelajaran bila paling
sedikit 75% dari jumlah siswa dalam kelas tersebut menjawab atau mengisi angket
dengan jawaban setuju sebanyak minimal 5 butir soal ( 60 % dari aspek
pertanyaan )
d. Indikator Keberhasilan
Komponen-komponen
yang menjadi indikator keberhasilan tercapainya peningkatan kualitas
pembelajaran matematika dan kesuksesan dalam melakukan tindakan pada setiap
siklusnya adalah :
1.Hasil belajar
Peningkatan hasil belajar
tercapai bila nilai rata-rata tes setiap siklus mengalami kenaikan persentase jumlah siswa yang tuntas dalam
belajar meningkat pada setiap siklusnya.
2. Keaktivan siswa dalam
pembelajaran
Siswa aktif dalam pembelajaran
bila aspek aktivitas siswa yang masuk dalam kategori A lebih banyak daripada
aspek aktivitas siswa yang kategori B atau C. Serta jumlah aspek pengamatan
yang kategori B atau C berkurang pada setiap siklusnya.
3. Pengelolaan pembelajaran
Pengelolaan pembelajaran
efektif bila nilai rata-rata hasil pengamatan semua aspek yang diamati pada
setiap siklus minimal mencapai kriteria baik (≥3,50). Serta adanya peningkatan
rata-rata hasil pengamatan semua aspek yang diamati pada setiap siklusnya
4. Ketertarikan siswa terhadap pembelajaran
Ketertarikan siswa terhadap
pembelajaran tercapai bila persentase ketertarikan siswa dalam satu kelas
meningkat pada setiap siklusnya.
Ketertarikan siswa terhadap
pembelajaran tercapai bila persentase ketertarikan siswa dalam satu kelas
meningkat pada setiap siklusnya.
H. Daftar Rujukan
Behrman,
Carol H. 2003. Writing Proficiency Lessons and Activities. San Fransisco:
Jossey-Bass A Wiley Imprint.
Bogdan, R.
C. & Biklen, S. K. 1992. Qualitative Research in Education: An
Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn & Bacon.
Brereton, John C. 1978. A Plan for Writing, Second Edition. New
York: Holt, Rinehart and Winston
Brown, H.
D. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language
Pedagogy. New York: Addison-Wesley Longman, Inc.
Byrne, D.
1984. Teaching Writing Skills. Essex: Longman Group Ltd.
Cahyono, 2004. English
Language Teaching and Learning in Indonesia, Malang. State University of
Malang Press.
Farris, Pamela J. 1993. Language Arts: A Process
Approach. Indianapolis: WCB. Brown & Benchmark Publisher.
Gebhard,
J.G. 2000. Teaching English as a Foreign or Second Language: A Teacher
Self-Development and Methodology Guide. Michigan: The University of
Michigan Press.
Harmer,
Jeremy. 2000. How to Teach English. An Introduction to the Practice of
English Language Teaching. New York: Addison Wesley Longman Limited.
Hedge , 2003. Teaching
and Learning in the Language Classroom, New York. Oxford University Press.
Herrmann, 1989. Teaching
Writing with Peer Response Groups. Encourage Revision. ERIC
Clearinghouse on Reading and
Communication Skills Bloomington In.
Jacob, E. 1999.
Cooperative Learning in Context. An Educational Innovation in Everyday
Classrooms. Albany: State University of
New York Press.
Johnson, D.W. and Johnson, R.T. (1991) Learning Together
and Alone: Cooperative, Competitive, and Individualistic Learning (3rd
edition). Massachusetts: Allyn and Bacon, A division of Simon and Schuster,
Inc.
Inman, B. A., Gardner, R. 1979. Aspects
of Composition. New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Kagan, S. 1992. Cooperative Learning. San Juan
Capistrano: Kagan Cooperative Learning.
Kessler, C. (Ed). 1992. Cooperative Language Learning: A
teacher’s Resource Book. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc.
Kroll, B.
1991. Teaching in the ESL Context., Boston; Heinkle & Heinkle
Publishers.
Latief, M.
Adnan. 1990. Assessment of English Writing Skills for Students of English as a
Foreign Language at IKIP Malang. Unpublished Disertation. University of Iowa.
------------------ 2003. Getting Started: Outlining.
The Writing Process. http://webster.comnet.edu/grammar/composition/brainstorm_outline.
McNiff, Jean. 1992. Action
Research. Principles and Practice. London: Routledge
Millis, B. J.
1996. Cooperative Learning. The University of Tennessee at Chattanooga.
In Office of Instructional Consultation, UCSB. (Online), (http://www.utc.edu/Teaching-Resource-Center/CoopLear.html,
downloaded on July 18, 2004).
Mukminatien, N. 1997. The
Differences of Students’ Writing Achievements Across Different Course Levels.
Unpublished Dissertation. IKIP Malang.
O'Malley and
Pierece, 1996, Authentic Assessment for English Language Learning, Practical
Approach for Teacher. U.S.A.; Addison Wesley.
Oshima, A,
& Hogue, A. 1983. Writing Academic English: A Writing and Sentence
Structure Workbook for International Students. Massachusetts:
Addison-Wesley Publishing Company.
Raimes, A.
1983. Techniques in Teaching Writing. Oxford: Oxford University Press
Rasyid, Fathur. 1999. Teaching
Argumentative Writing Through Cooperative Learning. An Unpublished Thesis.
Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang.
Reinking, J. A., & Andrew W. H., & R.V. der Osten.
1999. Strategies for Successful
Writing: A Retoric, Research Guide, Reader and Handbook. New Jersey:
Prentice Hall.
Rivers,
Wilga M. 1981. Teaching Foreign-Language Skills. 2nd Edition.
Chicago: The University of Chicago Press.
Sharan, Shlomo.(Ed.). 1999.
Handbook of Cooperative Learning Methods. London: Praeger Publishers.
Slavin, Robert.E. 1995.
Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Second Edition.
Boston: Allyn and Bacon.
Sorenson Sharon. 1997. Webster’s New World: Student
Writing Handbook, Fourth Edition. Foster City: An International Data group
Company.
Stahl, R. J.
1994. The Essential Elements of Cooperative Learning in the Classroom. ERIC
Digest. ERIC Clearing house for Social Studies/Social Science Education
Bloomington IN. (Online), (http://www..ericfacility.net/databases/ERIC_Digests/ed370881.html
, downloaded on March 31, 2006).
Suyanto, K.
Kasbolah E & Sukaryana, I Wayan, 2001. Penelitian Tindakan Kelas. Malang: Penerbit Universitas Negari Malang.
Smalley,
Regina L., Ruetten, Mary K., & Kozyrev, Joann R. 2001. Refining
Composition Skill: Rhetoric and Grammar. Boston: Heinle & heinle Publishers.
Temple, C., Nathan, R.,
Burris, N., & Temple, F. 1988. The Beginnings of Writing. Massachusetts:
Allyn and Bacon, Inc.
Tompkins, Gail.E., &
Hoskisson, Kenneth.1991. Language Arts: Content and Teaching Strategies.
USA: Macmillan Publishing Company.
Tompkins, Gail E. 1994. Teaching
writing: Balancing Process and Product. 2nd edition. New York:
Macmillan College Publishing Company, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar